Thursday, 31 July 2014

Yang jauh dan yang dekat

Oleh : A Fahrizal Aziz*

Jelang lebaran, banyak orang yang bergerak ke kota menuju desa atau sebaliknya. Mereka berencana bertemu dengan orang-orang yang jauh, yang tidak setiap hari bisa mereka temui.  Jauh dalam artian jarak, bukan jauh dalam hubungan. Meski jaraknya jauh, sesungguhnya mereka dekat. Terbukti ketika lebaran, kedekatan itu yang mampu mempertemukan mereka dari jauhnya jarak menuju kedekatan yang sempurna ; dekat jarak dan hubungan.

Di lain hal, ada orang yang benar-benar jauh dari kita. Meski terkadang jaraknya sangat dekat. Tetapi mereka sangat jauh sekali. Saya menilai dari diri sendiri, ketika hampir setiap tahun saya berkunjung ke sanak sodara diluar kota yang jaraknya sekitar 120 km. Namun tak setiap tahun saya berkunjung ke rumah kakek-nenek dari Bapak yang jaraknya tak lebih dari 500 meter. Dua hal yang menamai jauh-dekat dalam dua makna yang lain.

Dengan saudara diluar kota, saya bisa bercerita banyak hal, mulai dari yang biasa saya utarakan hingga yang jarang saya utarakan. Sementara dengan kakek-nenek, kami sering hening ketika tengah duduk berdua atau bertiga. Padahal, dalam keadaan biasa, hampir setiap hari saya bertemu kakek dan nenek. Tapi tak pernah saya berusaha menggali banyak hal dari mereka berdua. Berbeda dengan saudara diluar kota yang hanya bersitatap sekali dalam setahun dan sisanya hanya berhubungan melalui gadget, dan kami begitu terbuka.

Inikah yang dinamakan jauh dan dekat dalam arti lain? jauh dan dekat yang tak melulu dimaknai dengan jarak. Tapi juga hubungan yang riil. Akhirnya saya merasa bingung sendiri. Mana yang benar-benar jauh dan mana yang benar-benar dekat? Entahlah.

Begitu pula orang-orang yang mudik, tak selalu mereka berniat menemui sanak kerabat yang jauh. Tetapi mencoba mendekatkan yang sudah dekat. Yang terasa jauh, bisa jadi yang selama ini terlihat dekat. Semisal orang tua, teman, tetangga, paman, bibi, dan lain-lain. Itulah kenapa, kita tak pernah merasa cukup dengan pertemuan yang setiap saat itu. Karena pertemuan tak selalu mendekatkan, dan yang jauh tak selalu menjauhkan.

Lalu, kemana sebenarnya kita harus mudik?

(*) Inisiator Bilik Kata.

Menerima takdir sebagai Lesbian

Oleh : A Fahrizal Aziz*

Saya berbincang dengan Suboy (nama samaran), dia seorang perempuan, berpakaian masih seperti perempuan, tapi juga mencintai sesama perempuan. Ya, dia adalah lesbian. Sementara saya yang berbincang dengannya, masih dianggap lelaki tulen. Dia bercerita banyak hal seputar lesbian, dan mengklarifikasi banyak hal yang sekiranya melenceng dari pemahaman keumuman masyarakat.

Ia menjelaskan bahwa menyadari diri sebagai lesbian, adalah upaya menerima takdir. Saya shock seketika, kenapa harus bawa-bawa takdir? Bukankah takdir adalah garis yang ditetapkan oleh Tuhan? Lalu ia menjelaskan, secuil pun tak pernah ia berharap jadi seorang lesbian. Ia pun juga tersiksa menjadi lesbian. Ia ingin hidup normal, tapi apa daya, orientasi seksual yang menyimpang ini muncul secara alamiah, sejak ia masih SD, ia sudah menikmati ketertarikannya dengan sesama perempuan.

Menerima takdir menjadi seorang lesbian, menurut dia, sama halnya dengan menerima takdirnya sebagai perempuan atau laki-laki. Jika boleh memilih, ia ingin menjadi laki-laki agar bisa dengan leluasa mencintai perempuan. Tetapi Tuhan memilihkannya menjadi perempuan. Banyak orang yang bernasib dengannya, namun tak bisa menerima takdir.

Misalkan, seorang laki-laki yang memilih menjadi waria, berdandan seperti perempuan dan berperilaku layaknya perempuan. Para waria itu, mengklaim dirinya menerima takdir, padahal sejujurnya, mereka tengah mengutuki takdir. Menerima takdir dan mengutuki takdir itu dua hal yang berbeda. Menerima itu proses keterbukaan dan kepasrahan, sementara mengutuki itu adalah sebuah protes keras.

Seorang perempuan yang memilih berperilaku layaknya laki-laki atau seorang laki-laki yang memilih menjadi waria, adalah jalan mengutuki takdir. Kenapa mengutuki? Tuhan mentakdirkannya sebagai perempuan, tapi orientasi seksualnya kepada sesama jenis. Begitu pula, ketika Tuhan menciptakannya sebagai laki-laki dan orientasi seksualnya ke sesama laki-laki, ia protes dan merubah dirinya menjadi perempuan.

Ia menjelaskan, tak semua lesbian tercipta karena pola perilaku, ada yang muncul secara alamiah. Ia menjelaskan dirinya sendiri. Tak pernah dikecewakan laki-laki, pun tak pernah berhubungan intim dengan perempuan. Sejak kecil ia terkenal tomboi, dan usut demi usut, ketika masih dalam kendungan, orang tua sangat mengharapkan anak laki-laki. Apakah itu berpengaruh?

Ia ingin menerima dirinya sebagai seorang lesbian, karena menurutnya lesbian adalah takdir. Takdir harus diterima, tak harus dikutuki. Menerima dirinya sebagai seorang lesbian, bukan berarti menghalalkan dirinya untuk melakukan hubungan sesama jenis, kalau itu ia lakukan, berarti bukan menerima melainkan mengutuki. Di lain hal, meski ia sadar sebagai seorang lesbian, tapi ia memilih untuk belajar normal dan mencintai lelaki.

“Lesbian itu takdir, dan takdir tidak bisa kita lawan. Tapi diantara takdir itu ada pilihan, dan saya memilih untuk menjadi normal, semampu dan sebisa saya. Suatu kelak, saya ingin menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Mengurusi keluarga dan mendidik anak-anak,” jelasnya dengan mata berkaca-kaca.

Saya pun turut berdoa semoga anda berhasil menjadi perempuan seutuhnya.

(*) Inisiator Bilik Kata