Tuesday 30 September 2014

Cinta, Bersabarlah... (Part 3)



Oleh: Adinda R.D Kinasih   
    Di sana ada kau! Kau yang beberapa hari ini tak pernah lagi menyapaku lewat SMS, telepon, BBM, atau sosial media lainnya,bahkan mungkin alamat rumahku pun sudah kau lupakan. Kulihat kau di sana, bersama sosok lelaki yang...yaa..tampan menurutku. Aku sendiri tak berani menyamakan diriku dengannya. Lelaki itu menggandeng tanganmu sambil tersenyum padamu. Dan kau pun membalasnya dengan senyuman pula. Senyum terindah yang pernah kulihat. Kurasakan ada nyeri di lubuk hatiku lagi. Aku ingin sesegera mungkin mencapai ambang pintu kelasku, tapi entah apa yang membuat kakiku beku. Kupandangi dengan tatapan perih, dirimu dan dia di seberang sana.

    “Hai, Nugieee!” aku terkesiap mendengar nyaring sapaanmu. Kulihat kau tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Sedangkan, lelaki keren di sampingmu hanya menatap heran padaku.
      Aku hanya bisa membalas sapamu dengan senyum pahit, terlebih saat kau sampai di hadapanku. Kupandangi wajahmu, ah, kau makin cantik saja. Apakah ini efek jatuh cinta? Bisa menjadikan seseorang lebih cantik dari biasanya?
  “Kenalin Gie, ini Tommy. Tom, ini Nugie sahabatku dari SMA...” dengan sumringah kau mengenalkannya padaku. Lelaki bernama Tommy itu tersenyum dan mengulurkan tangan padaku. Kupaksa bibirku tuk membalas senyuman lelaki yang telah berhasil menaklukkan hatimu itu, dan kujabat tangannya.
    “Tommy.” ia menyebutkan namanya.
  “Nugie.” ucapku pula. “Hmm, lo jurusan apa, Tom?” tanyaku kemudian, hanya untuk sekedar basa-basi.
   “Gue jurusan Komunikasi. Kata Cinta, lo jurusan Musik? Bener?” tanyanya memastikan. Aku hanya mengangguk. Lalu kulihat Pak Deni berjalan menuju kelasku. “Eh, sorry, sekarang gue ada mata kuliah. Gue masuk dulu...” pamitku, lalu segera melangkah menuju kelas. Aku tak ingin berlama-lama denganmu dan cinta barumu itu.
            
  “Pagi, semuanya...” Pak Deni menyapa seisi kelas. Tak semua yang menjawab, karena ada yang masih sibuk menyiapkan alat musik masing-masing. “Hari ini kita kembali mempelajari materi permainan gitar. Kalian sudah menyiapkan lagu masing-masing kan?” Pak Deni menanyai kami. Kami semua mengiyakan. “Dan kamu Nugie, lagunya masih sama?” tiba-tiba Pak Deni mengarahkan mata padaku. Aku berpikir sejenak. Lalu menjawab dengan yakin.
  “Tidak, Pak. Sekarang saya ingin belajar lagunya Noahyang Tak Lagi Sama. Sudah bosan sama Letto, Pak.” jawabku. Pak Denisedikit kaget, kemudian berujar. “Kamu lagi patah hati, ya Gie?” canda beliau seraya tertawa diikuti teman sekelas. 
“Iya nih, dulu sukanya lagu Letto yang isinya mengharapkan cinta banget, sekarang kok jadi menggalau!” gurau salah seorang dari mereka. Aku hanya tersenyum kecut. Aku tahu mengapa mereka menertawaiku, karena sejak awal belajar gitar, aku selalu memainkan lagu Letto itu. Sampai-sampai semua orang sudah hafal, bahwa seorang Nugie akan selalu menyanyikan lagu itu. Aku tersenyum pahit. Kini aku tak ingin lagi menyanyikan lagu yang dulu sering kunyanyikan untukmu... 
Semua kini tak lagi sama, Cinta. Bukan lagi Cinta, bersabarlah. Tapi Cinta, berbahagialah…
            Sebulan berlalu. Kau masih sama, bukan Cinta yang kukenal dulu. Kau masih asyik berkutat dengan Tommy, Tommy, dan Tommy. Ah, sekarang pun aku tak peduli. Sepertinya kini aku memang bukan Nugie sahabatmu lagi. Ya, tak apa. Berusaha kunikmati hidupku sendiri. Namun tak disangka, tindakanku menjauh darimu membuatmu meradang. Siang ini, tiba-tiba kau menghampiriku di kantin setelah sekian lama kau tak pernah lagi menyambangi tempat ini.
            “Gie, gue mau ngomong!” ucapmu to the point, bahkan saat aku sendiri belum melontarkan sapaku.
            “Ya. Ada perlu apa?” tanyaku datar. Aku tak ingin kau menghujani telingaku lagi dengan semua kisahmu bersama Tommy.
            “Kenapa lo jadi dingin gini sih sama gue?!” tanyamu, lebih seperti memprotesku.
            “Siapa yang dingin? Gue biasa aja...” ujarku santai, meski aku tak menyangka kau akan menanyaiku seperti ini. Kulihat tatapan kesalmu padaku.
            “Lo jangan gini ke gue dong, Gie! Kalau lo kayak gini, lo bikin gue tambah tersiksa!” serumu agak emosi. Ada airmata yang mulai jatuh satu-satu dan membasah di wajahmu. Apa katamu tadi? Kau tersiksa dengan ketidakpedulianku? Oh ya? Apakah aku tak salah dengar? Bukannya selama ini kau yang menyiksarasaku dengan terus bersama Tommy?
            “Lo tersiksa? Bukannya selama ini ada Tommy? Kenapa lo masih mikirin gue? Bukankah selama ini gue udah nggak penting lagi buat lo?” nada suaraku berubah jadi sinis. Hal itu cukup membuat kau makin terkejut.
            “Kok lo ngomong gitu ke gue sih, Gie? Gue gak pernah lihat lo sesinis ini, Gie...” lirihmu dalam tangis yang makin tertangkap indera dengarku. Sebenarnya aku tak tega melihatmu begini, tapi sekarang emosiku sudah tak bisa kutahan lagi.
            “Sekarang lo udah lihat gue sinis! Sorry, Cinta. Mungkin sekarang udah saatnya kita urus hidup masing-masing. Lo juga udah nggak butuh gue lagi, kan? Habisin aja waktu lo sama Tommy!” seruku, dan bersiap beranjak dari hadapanmu. Kau terdiam dalam isak yang semakin jelas kudengar. Aku tak tega, namun berusaha tak pedulikanmu. Kulangkahkan kaki meninggalkan kantin dengan perasaan tak menentu.

Bersambung

Thursday 11 September 2014

Cinta, Bersabarlah... (Part 2)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih

 “Beneran, Gie gue cantik? Hmm...kalau lo aja, yang jarang muji cewek bilang gue cantik, pasti Tommy juga bilang gue cantik!” ujarmu sambil melebarkan senyuman. Aku terhenyak. Tommy? Siapa itu? Jadi kau rela berubah 180 derajat begini demi dia?

“Siapa Tommy?” aku menanyaimu dengan nada datar, dengan raut wajah yang kubuat sebiasa mungkin.

“Hehee...Tommy itu cowok baru gue... Dia suka banget sama cewek yang feminim gini, Gie. Kita baru jadian kemarin, dan hari ini dia mau ajak gue makan di kafe. Makanya gue dandan kayak gini, keren kan Gie?” senyummu tak henti merekah, menambah ayu parasmu yang telah kukagumi sejak dulu. Tapi sehebat itukah Tommy hingga ia berhasil membuatmu terhipnotis seperti ini, Cinta?

“Kenapa sih lo bengong aja dari tadi?! Dengerin gue ngomong gak sih?!” kau menggerutu tiba-tiba. Aku gelagapan. Berusaha kulukis senyumku.

“Maaf. Habis gue beneran pangling sama lo, Cinta. Selamat ya. Semoga Tommy itu beneran bisa bahagiain elo...” ucapku pelan. Kau tersenyum manis padaku.

“Makasih banget ya, Gie... Tapi lo akan tetap jadi sahabat terbaik gue! Gue pergi dulu, ya! Oh ya, jangan pernah nyanyiin lagu Letto favorit lo itu lagi! Gue kan udah punya Tommy sekarang, hehehe. Bye Gie!” aku terpaku menatap langkahmu yang semangat menuju taksi, yang sesaat kemudian berlalu dari hadapanku. Aku terdiam. Kurasakan perih menyerang kalbuku tiba-tiba.
#
    Suasana kampus tetap sama seperti hari-hari kemarin. Namun bagiku terasa berbeda, karena kini kususuri koridor kampus tanpamu. Kuakui, rasa kehilanganmu sangat terasa di jiwaku. Tapi aku sadar, sekarang sudah ada Tommy yang mengisi hari-harimu. Bukan aku lagi. Dalam suasana hati tak menentu seperti ini, memoriku malah kembali memutar semua kenangan tentang kita berdua. Dulu, sebelum Tommy hadir, kita selalu berangkat kuliah berdua, menyusuri koridor ini berdua, menghabiskan waktu di perpustakaan berdua, makan di kantin berdua, dan pulang kuliah berdua. Hanya saat di dalam kelas kita tak bisa berdua, karena kau dan aku memang berbeda jurusan. Namun itu sama sekali tak menggoyahkan persahabatan kita. Bahkan, karena seringnya kita bersama, banyak teman yang bilang bahwa diantara kita ada rasa spesial. Dan aku, maupun kau, hanya menanggapinya dengan tertawa dan biasa saja. Tapi mereka tetap saja meledek kita seperti itu, hingga akhirnya aku pun berharap itu kan jadi nyata. Itu perasaanku. Entah kau...
   
Langkahku terhenti di depan pintu kelasmu. Kulongok ke dalam. Cukup ramai, namun tak ada kau di sana.
   
“Cari Cinta, ya Gie?” tiba-tiba sosok Laras, temanmu, sudah ada di hadapanku. Aku mengiyakan. “Cinta belum dateng tuh...  Eh, lo udah tahu kalau dia punya pacar, kan?” sambung Laras. Aku mengangguk dengan agak berat hati.
   
“Ya udah Ras, makasih ya!” pamitku sambil buru-buru pergi. Entah mengapa aku enggan membahas tentangmu dan Tommy-mu itu. Belum sempat kuhentikan kaki di kelasku, tiba-tiba pandanganku melayang ke arah taman kampus.
#

Bersambung...

Wednesday 3 September 2014

Cinta, Bersabarlah... (Part 1)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih

♪Oh...rasa cinta bersabarlah menantinya
Oh...rasa cinta bersabarlah menantinya
Walau tak ku punya tapi ku percaya
Cinta itu indah...♪

Bukan sekali kudengar kau memakiku saat aku selesai melantunkan lagu karya Letto itu. “Gue merasa tersindir dengan lagu itu!” begitu katamu selalu, saat kutanyakan kenapa kau seakan sangat tak suka jika lagu itu kunyanyikan. Oh, syukurlah kau tidak menutup telinga saat mendengar suaraku, meskipun nyatanya suaraku tak sebagus Afgan, tentu saja.
#
“Gue capek jomblo, Gie...” aku nyaris tersedak saat mendengar kalimatmu yang seperti keluhan itu. Baru kali ini kudengar kau mengeluh tentang kesendirianmu. Selama lima tahun aku mengenalmu, sejak di bangku SMA dan sampai sekarang kita kuliah, kau tak pernah memusingkan kesendirianmu. Dulu di saat hampir semua teman-teman sekelas kita di SMA menyibukkan diri dengan kekasih masing-masing, kau malah dengan santainya melenggang sendirian, menghabiskan malam Minggu dengan nonton film, atau dengan bernyanyi, diiringi petikan gitarku. Tapi kini? Angin apa yang membuatmu berkata seperti itu? Apakah kau sudah bosan menghabiskan setiap malam Minggu bersamaku?
#
Hingga beberapa minggu setelah itu, tiba-tiba kau hadir di depan pintu rumahku dengan penampilan sangat berbeda. Tak ada lagi jeans belel, kemeja, dan topi yang biasa kau kenakan. Kini kau memakai terusan merah jambu bermotif bunga, rambutmu pun kau biarkan tergerai dengan hiasan pita. Mataku tak sanggup berkedip melihatmu seperti ini. Harus kuakui kau begitu cantik, namun aku juga merasa kehilangan dirimu yang cuek dan tomboi seperti dulu.

“Tataa...kenapa lo...”
“Stop! Panggil gue Cinta! Jangan Tata lagi. Apa lo gak lihat nih penampilan gue? Cantik gini! Tata itu kayak nama cowok! Mulai sekarang, panggil gue Cinta! Oke?” kau memotong perkataanku dengan kalimat yang lumayan panjang. Aku hanya terpaku. Kuingat dulu, kau selalu protes jika kupanggil Cinta. Terlalu feminim, katamu. Kau pun menciptakan nama panggilan sendiri, yang agak aneh bagiku. Tata, itulah nama ciptaanmu. Seperti nama laki-laki. Tapi kupilih lebih menurutimu daripada nanti kau damprat aku. Dan sekarang kau yang memintaku kembali memanggilmu Cinta. Ada apa denganmu?

“Heii! Malah bengong! Gimana pendapat lo tentang gue yang sekarang, Nugie?” tanyamu membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum sejenak, lalu beranjak ke dalam sebentar dan kembali ke hadapanmu dengan sebuah gitar. Aku tersenyum dan mulai memetik gitarku.
“You are so beautiful, to me… You are so beautiful to me… Can't you see… You're everything I hoped for… you're everything I need… You are so beautiful, to me…” kulantunkan sebait lagu Westlife. Kau tertawa, wajahmu memerah tersipu.
#

Bersambung...