Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih
“Beneran, Gie gue cantik? Hmm...kalau lo aja, yang jarang muji cewek bilang gue cantik, pasti Tommy juga bilang gue cantik!” ujarmu sambil melebarkan senyuman. Aku terhenyak. Tommy? Siapa itu? Jadi kau rela berubah 180 derajat begini demi dia?
“Siapa Tommy?” aku menanyaimu dengan nada datar, dengan raut wajah yang kubuat sebiasa mungkin.
“Hehee...Tommy itu cowok baru gue... Dia suka banget sama cewek yang feminim gini, Gie. Kita baru jadian kemarin, dan hari ini dia mau ajak gue makan di kafe. Makanya gue dandan kayak gini, keren kan Gie?” senyummu tak henti merekah, menambah ayu parasmu yang telah kukagumi sejak dulu. Tapi sehebat itukah Tommy hingga ia berhasil membuatmu terhipnotis seperti ini, Cinta?
“Kenapa sih lo bengong aja dari tadi?! Dengerin gue ngomong gak sih?!” kau menggerutu tiba-tiba. Aku gelagapan. Berusaha kulukis senyumku.
“Maaf. Habis gue beneran pangling sama lo, Cinta. Selamat ya. Semoga Tommy itu beneran bisa bahagiain elo...” ucapku pelan. Kau tersenyum manis padaku.
“Makasih banget ya, Gie... Tapi lo akan tetap jadi sahabat terbaik gue! Gue pergi dulu, ya! Oh ya, jangan pernah nyanyiin lagu Letto favorit lo itu lagi! Gue kan udah punya Tommy sekarang, hehehe. Bye Gie!” aku terpaku menatap langkahmu yang semangat menuju taksi, yang sesaat kemudian berlalu dari hadapanku. Aku terdiam. Kurasakan perih menyerang kalbuku tiba-tiba.
#
Suasana kampus tetap sama seperti hari-hari kemarin. Namun bagiku terasa berbeda, karena kini kususuri koridor kampus tanpamu. Kuakui, rasa kehilanganmu sangat terasa di jiwaku. Tapi aku sadar, sekarang sudah ada Tommy yang mengisi hari-harimu. Bukan aku lagi. Dalam suasana hati tak menentu seperti ini, memoriku malah kembali memutar semua kenangan tentang kita berdua. Dulu, sebelum Tommy hadir, kita selalu berangkat kuliah berdua, menyusuri koridor ini berdua, menghabiskan waktu di perpustakaan berdua, makan di kantin berdua, dan pulang kuliah berdua. Hanya saat di dalam kelas kita tak bisa berdua, karena kau dan aku memang berbeda jurusan. Namun itu sama sekali tak menggoyahkan persahabatan kita. Bahkan, karena seringnya kita bersama, banyak teman yang bilang bahwa diantara kita ada rasa spesial. Dan aku, maupun kau, hanya menanggapinya dengan tertawa dan biasa saja. Tapi mereka tetap saja meledek kita seperti itu, hingga akhirnya aku pun berharap itu kan jadi nyata. Itu perasaanku. Entah kau...
Langkahku terhenti di depan pintu kelasmu. Kulongok ke dalam. Cukup ramai, namun tak ada kau di sana.
“Cari Cinta, ya Gie?” tiba-tiba sosok Laras, temanmu, sudah ada di hadapanku. Aku mengiyakan. “Cinta belum dateng tuh... Eh, lo udah tahu kalau dia punya pacar, kan?” sambung Laras. Aku mengangguk dengan agak berat hati.
“Ya udah Ras, makasih ya!” pamitku sambil buru-buru pergi. Entah mengapa aku enggan membahas tentangmu dan Tommy-mu itu. Belum sempat kuhentikan kaki di kelasku, tiba-tiba pandanganku melayang ke arah taman kampus.
#
Bersambung...
No comments:
Post a Comment