Tuesday 30 September 2014

Cinta, Bersabarlah... (Part 3)



Oleh: Adinda R.D Kinasih   
    Di sana ada kau! Kau yang beberapa hari ini tak pernah lagi menyapaku lewat SMS, telepon, BBM, atau sosial media lainnya,bahkan mungkin alamat rumahku pun sudah kau lupakan. Kulihat kau di sana, bersama sosok lelaki yang...yaa..tampan menurutku. Aku sendiri tak berani menyamakan diriku dengannya. Lelaki itu menggandeng tanganmu sambil tersenyum padamu. Dan kau pun membalasnya dengan senyuman pula. Senyum terindah yang pernah kulihat. Kurasakan ada nyeri di lubuk hatiku lagi. Aku ingin sesegera mungkin mencapai ambang pintu kelasku, tapi entah apa yang membuat kakiku beku. Kupandangi dengan tatapan perih, dirimu dan dia di seberang sana.

    “Hai, Nugieee!” aku terkesiap mendengar nyaring sapaanmu. Kulihat kau tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Sedangkan, lelaki keren di sampingmu hanya menatap heran padaku.
      Aku hanya bisa membalas sapamu dengan senyum pahit, terlebih saat kau sampai di hadapanku. Kupandangi wajahmu, ah, kau makin cantik saja. Apakah ini efek jatuh cinta? Bisa menjadikan seseorang lebih cantik dari biasanya?
  “Kenalin Gie, ini Tommy. Tom, ini Nugie sahabatku dari SMA...” dengan sumringah kau mengenalkannya padaku. Lelaki bernama Tommy itu tersenyum dan mengulurkan tangan padaku. Kupaksa bibirku tuk membalas senyuman lelaki yang telah berhasil menaklukkan hatimu itu, dan kujabat tangannya.
    “Tommy.” ia menyebutkan namanya.
  “Nugie.” ucapku pula. “Hmm, lo jurusan apa, Tom?” tanyaku kemudian, hanya untuk sekedar basa-basi.
   “Gue jurusan Komunikasi. Kata Cinta, lo jurusan Musik? Bener?” tanyanya memastikan. Aku hanya mengangguk. Lalu kulihat Pak Deni berjalan menuju kelasku. “Eh, sorry, sekarang gue ada mata kuliah. Gue masuk dulu...” pamitku, lalu segera melangkah menuju kelas. Aku tak ingin berlama-lama denganmu dan cinta barumu itu.
            
  “Pagi, semuanya...” Pak Deni menyapa seisi kelas. Tak semua yang menjawab, karena ada yang masih sibuk menyiapkan alat musik masing-masing. “Hari ini kita kembali mempelajari materi permainan gitar. Kalian sudah menyiapkan lagu masing-masing kan?” Pak Deni menanyai kami. Kami semua mengiyakan. “Dan kamu Nugie, lagunya masih sama?” tiba-tiba Pak Deni mengarahkan mata padaku. Aku berpikir sejenak. Lalu menjawab dengan yakin.
  “Tidak, Pak. Sekarang saya ingin belajar lagunya Noahyang Tak Lagi Sama. Sudah bosan sama Letto, Pak.” jawabku. Pak Denisedikit kaget, kemudian berujar. “Kamu lagi patah hati, ya Gie?” canda beliau seraya tertawa diikuti teman sekelas. 
“Iya nih, dulu sukanya lagu Letto yang isinya mengharapkan cinta banget, sekarang kok jadi menggalau!” gurau salah seorang dari mereka. Aku hanya tersenyum kecut. Aku tahu mengapa mereka menertawaiku, karena sejak awal belajar gitar, aku selalu memainkan lagu Letto itu. Sampai-sampai semua orang sudah hafal, bahwa seorang Nugie akan selalu menyanyikan lagu itu. Aku tersenyum pahit. Kini aku tak ingin lagi menyanyikan lagu yang dulu sering kunyanyikan untukmu... 
Semua kini tak lagi sama, Cinta. Bukan lagi Cinta, bersabarlah. Tapi Cinta, berbahagialah…
            Sebulan berlalu. Kau masih sama, bukan Cinta yang kukenal dulu. Kau masih asyik berkutat dengan Tommy, Tommy, dan Tommy. Ah, sekarang pun aku tak peduli. Sepertinya kini aku memang bukan Nugie sahabatmu lagi. Ya, tak apa. Berusaha kunikmati hidupku sendiri. Namun tak disangka, tindakanku menjauh darimu membuatmu meradang. Siang ini, tiba-tiba kau menghampiriku di kantin setelah sekian lama kau tak pernah lagi menyambangi tempat ini.
            “Gie, gue mau ngomong!” ucapmu to the point, bahkan saat aku sendiri belum melontarkan sapaku.
            “Ya. Ada perlu apa?” tanyaku datar. Aku tak ingin kau menghujani telingaku lagi dengan semua kisahmu bersama Tommy.
            “Kenapa lo jadi dingin gini sih sama gue?!” tanyamu, lebih seperti memprotesku.
            “Siapa yang dingin? Gue biasa aja...” ujarku santai, meski aku tak menyangka kau akan menanyaiku seperti ini. Kulihat tatapan kesalmu padaku.
            “Lo jangan gini ke gue dong, Gie! Kalau lo kayak gini, lo bikin gue tambah tersiksa!” serumu agak emosi. Ada airmata yang mulai jatuh satu-satu dan membasah di wajahmu. Apa katamu tadi? Kau tersiksa dengan ketidakpedulianku? Oh ya? Apakah aku tak salah dengar? Bukannya selama ini kau yang menyiksarasaku dengan terus bersama Tommy?
            “Lo tersiksa? Bukannya selama ini ada Tommy? Kenapa lo masih mikirin gue? Bukankah selama ini gue udah nggak penting lagi buat lo?” nada suaraku berubah jadi sinis. Hal itu cukup membuat kau makin terkejut.
            “Kok lo ngomong gitu ke gue sih, Gie? Gue gak pernah lihat lo sesinis ini, Gie...” lirihmu dalam tangis yang makin tertangkap indera dengarku. Sebenarnya aku tak tega melihatmu begini, tapi sekarang emosiku sudah tak bisa kutahan lagi.
            “Sekarang lo udah lihat gue sinis! Sorry, Cinta. Mungkin sekarang udah saatnya kita urus hidup masing-masing. Lo juga udah nggak butuh gue lagi, kan? Habisin aja waktu lo sama Tommy!” seruku, dan bersiap beranjak dari hadapanmu. Kau terdiam dalam isak yang semakin jelas kudengar. Aku tak tega, namun berusaha tak pedulikanmu. Kulangkahkan kaki meninggalkan kantin dengan perasaan tak menentu.

Bersambung

Thursday 11 September 2014

Cinta, Bersabarlah... (Part 2)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih

 “Beneran, Gie gue cantik? Hmm...kalau lo aja, yang jarang muji cewek bilang gue cantik, pasti Tommy juga bilang gue cantik!” ujarmu sambil melebarkan senyuman. Aku terhenyak. Tommy? Siapa itu? Jadi kau rela berubah 180 derajat begini demi dia?

“Siapa Tommy?” aku menanyaimu dengan nada datar, dengan raut wajah yang kubuat sebiasa mungkin.

“Hehee...Tommy itu cowok baru gue... Dia suka banget sama cewek yang feminim gini, Gie. Kita baru jadian kemarin, dan hari ini dia mau ajak gue makan di kafe. Makanya gue dandan kayak gini, keren kan Gie?” senyummu tak henti merekah, menambah ayu parasmu yang telah kukagumi sejak dulu. Tapi sehebat itukah Tommy hingga ia berhasil membuatmu terhipnotis seperti ini, Cinta?

“Kenapa sih lo bengong aja dari tadi?! Dengerin gue ngomong gak sih?!” kau menggerutu tiba-tiba. Aku gelagapan. Berusaha kulukis senyumku.

“Maaf. Habis gue beneran pangling sama lo, Cinta. Selamat ya. Semoga Tommy itu beneran bisa bahagiain elo...” ucapku pelan. Kau tersenyum manis padaku.

“Makasih banget ya, Gie... Tapi lo akan tetap jadi sahabat terbaik gue! Gue pergi dulu, ya! Oh ya, jangan pernah nyanyiin lagu Letto favorit lo itu lagi! Gue kan udah punya Tommy sekarang, hehehe. Bye Gie!” aku terpaku menatap langkahmu yang semangat menuju taksi, yang sesaat kemudian berlalu dari hadapanku. Aku terdiam. Kurasakan perih menyerang kalbuku tiba-tiba.
#
    Suasana kampus tetap sama seperti hari-hari kemarin. Namun bagiku terasa berbeda, karena kini kususuri koridor kampus tanpamu. Kuakui, rasa kehilanganmu sangat terasa di jiwaku. Tapi aku sadar, sekarang sudah ada Tommy yang mengisi hari-harimu. Bukan aku lagi. Dalam suasana hati tak menentu seperti ini, memoriku malah kembali memutar semua kenangan tentang kita berdua. Dulu, sebelum Tommy hadir, kita selalu berangkat kuliah berdua, menyusuri koridor ini berdua, menghabiskan waktu di perpustakaan berdua, makan di kantin berdua, dan pulang kuliah berdua. Hanya saat di dalam kelas kita tak bisa berdua, karena kau dan aku memang berbeda jurusan. Namun itu sama sekali tak menggoyahkan persahabatan kita. Bahkan, karena seringnya kita bersama, banyak teman yang bilang bahwa diantara kita ada rasa spesial. Dan aku, maupun kau, hanya menanggapinya dengan tertawa dan biasa saja. Tapi mereka tetap saja meledek kita seperti itu, hingga akhirnya aku pun berharap itu kan jadi nyata. Itu perasaanku. Entah kau...
   
Langkahku terhenti di depan pintu kelasmu. Kulongok ke dalam. Cukup ramai, namun tak ada kau di sana.
   
“Cari Cinta, ya Gie?” tiba-tiba sosok Laras, temanmu, sudah ada di hadapanku. Aku mengiyakan. “Cinta belum dateng tuh...  Eh, lo udah tahu kalau dia punya pacar, kan?” sambung Laras. Aku mengangguk dengan agak berat hati.
   
“Ya udah Ras, makasih ya!” pamitku sambil buru-buru pergi. Entah mengapa aku enggan membahas tentangmu dan Tommy-mu itu. Belum sempat kuhentikan kaki di kelasku, tiba-tiba pandanganku melayang ke arah taman kampus.
#

Bersambung...

Wednesday 3 September 2014

Cinta, Bersabarlah... (Part 1)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih

♪Oh...rasa cinta bersabarlah menantinya
Oh...rasa cinta bersabarlah menantinya
Walau tak ku punya tapi ku percaya
Cinta itu indah...♪

Bukan sekali kudengar kau memakiku saat aku selesai melantunkan lagu karya Letto itu. “Gue merasa tersindir dengan lagu itu!” begitu katamu selalu, saat kutanyakan kenapa kau seakan sangat tak suka jika lagu itu kunyanyikan. Oh, syukurlah kau tidak menutup telinga saat mendengar suaraku, meskipun nyatanya suaraku tak sebagus Afgan, tentu saja.
#
“Gue capek jomblo, Gie...” aku nyaris tersedak saat mendengar kalimatmu yang seperti keluhan itu. Baru kali ini kudengar kau mengeluh tentang kesendirianmu. Selama lima tahun aku mengenalmu, sejak di bangku SMA dan sampai sekarang kita kuliah, kau tak pernah memusingkan kesendirianmu. Dulu di saat hampir semua teman-teman sekelas kita di SMA menyibukkan diri dengan kekasih masing-masing, kau malah dengan santainya melenggang sendirian, menghabiskan malam Minggu dengan nonton film, atau dengan bernyanyi, diiringi petikan gitarku. Tapi kini? Angin apa yang membuatmu berkata seperti itu? Apakah kau sudah bosan menghabiskan setiap malam Minggu bersamaku?
#
Hingga beberapa minggu setelah itu, tiba-tiba kau hadir di depan pintu rumahku dengan penampilan sangat berbeda. Tak ada lagi jeans belel, kemeja, dan topi yang biasa kau kenakan. Kini kau memakai terusan merah jambu bermotif bunga, rambutmu pun kau biarkan tergerai dengan hiasan pita. Mataku tak sanggup berkedip melihatmu seperti ini. Harus kuakui kau begitu cantik, namun aku juga merasa kehilangan dirimu yang cuek dan tomboi seperti dulu.

“Tataa...kenapa lo...”
“Stop! Panggil gue Cinta! Jangan Tata lagi. Apa lo gak lihat nih penampilan gue? Cantik gini! Tata itu kayak nama cowok! Mulai sekarang, panggil gue Cinta! Oke?” kau memotong perkataanku dengan kalimat yang lumayan panjang. Aku hanya terpaku. Kuingat dulu, kau selalu protes jika kupanggil Cinta. Terlalu feminim, katamu. Kau pun menciptakan nama panggilan sendiri, yang agak aneh bagiku. Tata, itulah nama ciptaanmu. Seperti nama laki-laki. Tapi kupilih lebih menurutimu daripada nanti kau damprat aku. Dan sekarang kau yang memintaku kembali memanggilmu Cinta. Ada apa denganmu?

“Heii! Malah bengong! Gimana pendapat lo tentang gue yang sekarang, Nugie?” tanyamu membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum sejenak, lalu beranjak ke dalam sebentar dan kembali ke hadapanmu dengan sebuah gitar. Aku tersenyum dan mulai memetik gitarku.
“You are so beautiful, to me… You are so beautiful to me… Can't you see… You're everything I hoped for… you're everything I need… You are so beautiful, to me…” kulantunkan sebait lagu Westlife. Kau tertawa, wajahmu memerah tersipu.
#

Bersambung...

Friday 29 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 4)

  Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

 “Oh, kamu sudah sadar, Nak!” tiba-tiba kudengar suara seseorang. Kulihat ke sebelah kiriku, seorang kakek tersenyum padaku. Aku terbelalak kaget.
    “Saya....di....mana.....” ucapku lirih. Kakek itu duduk di kursi di samping ranjang.
    “Kamu di rumah saya. Tadi kamu tertabrak mobil saya. Badan kamu panas sekali. Wajahmu pucat, Nak. Sepertinya kamu terpengaruh obat-obatan terlarang...” jawab kakek itu. Aku tertunduk, kemudian tanpa diminta aku menceritakan semua yang menimpaku pada kakek itu.
    “Astaghfirullahaladzim…. Kenapa kamu berbuat seperti itu, Nak? Kesalahan ayahmu di masa lalu tak harus kamu balas dengan itu. Kelakuanmu itu malah membuat ibu dan kakakmu makin menderita. Oh ya, siapa namamu?”
    “Dimas, Kek… Kek, apakah tak ada kesempatan bagi saya untuk bertaubat?” tanyaku pelan.
    Kakek yang belum kutahu namanya itu tersenyum bijak. “Tentu saja ada, Dimas. Setiap orang punya kesempatan untuk bertaubat.” kata-kata kakek itu membuat senyum terlukis di wajahku.
    “Benarkah itu, Kek?” tanyaku meyakinkannya. Sang kakek mengangguk. Aku tersenyum, nyaris meneteskan airmata haru. “Alhamdulillah…..Allah masih memaafkan saya, Kek…”
    “Ya. Lebih baik sekarang kamu makan dulu. Nanti kalau kamu mau, saya akan mengajarimu shalat dan membaca Alquran…” ujar kakek. Wajahku berbinar.
    “Ya, Kek, saya mau! Terima kasih! Oh iya, nama Kakek siapa?”
    “Panggil saja Kakek Abu…” jawab sang kakek, lalu beranjak meninggalkanku.
    Sejak saat itu, aku tinggal di rumah Kakek Abu. Ternyata lelaki tua yang selalu berpeci putih ini adalah ustadz terkemuka di daerah itu. Setiap aku teringat akan obat-obat laknat itu dan ingin memakainya lagi, Kakek Abu selalu mengalihkan pikiranku dengan shalat dan membaca Alquran. Hingga sebulan kemudian, aku sudah fasih membaca Alquran dan menjadi jauh lebih baik.
    “Sekarang lebih baik kamu pulang ke rumah orangtuamu. Ibumu pasti rindu padamu, Dimas.” Kakek Abu berkata padaku saat kami sedang makan siang bersama.
    “Apa Kakek yakin kalau ibu dan kakak saya masih merindukan saya?” aku bertanya lirih. Terekam lagi di otakku, betapa jahatnya aku pada dua wanita yang sangat menyayangiku itu.
    “Semua orangtua itu menyayangi anaknya, Dimas. Segeralah pulang, dan minta maaf pada ibu dan kakakmu….”
    Setelah menimbang-nimbang dan memikirkan saran Kakek Abu, aku memutuskan pulang keesokan harinya. Sampai di depan rumahku yang bisa dibilang sederhana itu, aku terperanjat. Bendera kuning terlihat menggantung di batang pohon tak jauh dari rumahku. Siapa yang meninggal? Aku pun bergegas memasuki rumah yang sudah dijejali banyak orang.
    “Assalamualaikum….” ucapku pelan. Kontan semua orang menoleh padaku, termasuk wanita yang sedang bersimpuh di sisi jenazah. Tak kuduga, wanita itu adalah Mbak Ayu. Dia langsung menghampiriku.
    “Kamu?! Mau ngapain lagi kamu ke sini?! Bikin masalah lagi?! Belum puas kamu, sudah membuat ibu seperti ini?!” bentaknya bercampur isak tangis.
    “Mbak, maafin Dimas. Dimas udah menyadari semua kesalahan Dimas, Mbak. Mana ibu, Mbak? Ibu baik-baik saja kan?” tanyaku penasaran. Mbak Ayu tertawa getir.
    “Ibu? Baru sekarang kamu nanyain ibu?! Ke mana aja kamu selama ini, Dim?! Kenapa baru sekarang kamu menanyakan ibu?! Ha?!” tanyanya penuh amarah. Aku menghela napas. Berusaha menahan airmata yang sudah berebut ingin keluar.
    “Maafin…Dimas…Mbak….Selama ini…Dimas belajar agama…di rumah seorang ustadz…Dimas udah nggak makai lagi, Mbak….” jawabku tersendat. Mbak Ayu terdiam. Airmata makin membanjiri wajah cantiknya.
    “Itu ibu…….” Mbak Ayu menunjuk jenazah yang diselimuti kain batik. Aku ternganga, tak percaya pada apa yang kulihat.
    Apa??” ucapku tak percaya. Pelan-pelan kuikuti langkah Mbak Ayu memasuki rumah, lalu bersimpuh di hadapan……..jenazah ibu…….. Mbak Ayu membuka sebagian kain batik, dan terlihatlah wajah ibu yang tersenyum dalam tidur panjangnya. Tangisku pecah melihat wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku itu kini terbujur kaku.
    “Ibu…maafin Dimas, Bu…Maafin Dimas…..” kataku tersendat sambil menciumi wajah ibuku. Mbak Ayu pun menangis.
    Usai pemakaman ibu, Mbak Ayu bercerita bahwa setelah kepergianku kanker otak ibu bertambah parah. Beliau terus memikirkanku. Sebenarnya beliau ingin aku kembali lagi, dan Mbak Ayu pun sudah mencariku, tapi aku tetap tak ditemukan. Sampai akhirnya ibu meninggal setelah mendengar kabar bahwa ternyata dulu ayah terlilit hutang di bank, dan akibatnya, rumah kami disita. Untungnya, bank masih memberikan waktu bagi Mbak Ayu untuk tinggal di rumah itu, dan setelah kepengurusan jenazah ibu selesai, Mbak Ayu harus segera pindah dari rumah itu. Aku hanya bisa tertunduk diliputi penyesalan yang dalam saat mendengar ceritanya. Ya, seandainya saja dulu aku tak berbuat tindakan bodoh seperti itu, pasti semuanya takkan menjadi begini. Tapi Alhamdulillah, Allah masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri……

    Aku kaget saat terang datang tiba-tiba. “Horeeee….udah nyala! Ayo Ustadz Dimas, kita lanjutin lagi belajar ngajinya!” celoteh salah satu murid cilikku. Aku terdiam.
    “Lho, Ustadz, kenapa nangis?” tanya bocah berkerudung putih itu heran. Kuraba wajahku. Basah. Kupandang sekeliling. Sepuluh orang muridku nampak sedang menunggu jawabanku. Aku tersenyum.
    “Nggak apa-apa. Ustadz hanya teringat ibunda Ustadz…” jawabku. Kutatap lagi foto dalam dekapanku yang kini tampak lebih jelas. Aku tersenyum pada foto itu.
    “Sudah, sudah…ayo Ustadz, kita belajar ngaji lagi…” aku menoleh pada sang pemilik suara di sebelahku. Kuanggukkan kepala padanya.
    “Baik Ustadzah Ayu….” tukasku. Sementara dari balik pintu, Kakek Abu memandangi kami dengan bahagia.
    “Ya Allah, terima kasih telah menuntun Dimas untuk mendapatkan hidayah-Mu…”
*
TAMAT




*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Sunday 24 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 3)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

   “Udahlah, Ibu diem aja! Nggak usah sok-sok nasihatin Dimas!! Ibu keluar! Keluar dari kamar Dimas! Jangan ganggu Dimas, Bu!” bentakku sambil mendorong tubuh ibu keluar dari kamarku. Karena keadaan ibu yang sudah sangat lemah, ibu pun jatuh. Kepalanya terbentur lantai. Tapi ibu bisa berdiri lagi meski agak sempoyongan.
    “Dimas....kamu...keterlaluan....” ucap ibu tersendat. Aku tak peduli. Bersamaan dengan itu, Mbak Ayu datang.
    “Assalamualaikum! Ibu?!”  dia masuk dan mencari ibu. Sampai di depan kamarku, ia terkejut melihatku dan ibu sedang bersitegang.
    “Ya Allah, Ibu, ada apa?! Ibu kenapa, Bu?” tanya Mbak Ayu cemas. Tiba-tiba ia mengarahkan pandangan padaku.
    “Oh, kamu masih inget rumah juga ternyata!” katanya sinis. Aku memelototinya.
    “Mbak nggak usah banyak ngomong!” tukasku. Mbak Ayu memandangku marah.
    “Oh, jadi kamu udah berani ngelawan ibu dan aku?! Aku sangat menyesal punya adik seperti kamu! Mengecewakan!” bentaknya. Ibu langsung menengahi.
    “Ayu, sudah, jangan ngomong begitu sama adikmu!” Mbak Ayu ganti menatap ibu.
    “Bu, dia itu sudah keterlaluan! Tadi Ayu dapet surat pemberitahuan dari sekolahnya, bahwa anak ini dikeluarkan dari sekolah karena mengonsumsi narkoba dan minuman keras, dan dia juga sudah jadi pencuri Bu! Aku menyesal punya adik seperti dia!” seru Mbak Ayu. Ibu membelalak.
    “Apa?!” seru ibu. Aku pun kaget, tapi aku sudah tak peduli lagi.
    “Biar aja! Biarin Dimas dikeluarin dari sekolah! Dimas udah muak sekolah! Dimas udah muak sama kalian!” bentakku sambil menuding ibu dan Mbak Ayu. Obat-obat terlarang dan minuman keras itu berhasil mengubahku jadi Dimas yang kejam. Mbak Ayu makin marah mendengarnya, sementara ibu makin larut dalam tangisnya.
    “Oh, baiklah kalau begitu! Berarti Mbak nggak perlu susah-susah nasihatin kamu lagi! Pergi kamu dari sini! PERGI! Dasar anak nggak tahu terima kasih!” Mbak Ayu mengusirku. Ibu berusaha mencegah diiringi derai airmatanya yang tak berkesudahan, tapi Mbak Ayu tetap bersikukuh pada keputusannya. Tanpa basa-basi lagi, segera kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah, diiringi airmata ibu yang terus mengalir tanpa henti.
*
    Dua bulan berlalu. Selama itu pula, aku tak pernah kembali ke rumah dan sama sekali tak mau tahu tentang ibu dan Mbak Ayu. Setiap hari kegiatanku hanya main-main, mabuk-mabukan dan bergelut dengan obat-obat terlarang itu bersama Toddy dan gengnya yang juga sudah dikeluarkan dari sekolah. Selama itu aku sangat menikmati saat-saat seorang Dimas yang liar, tak tahu aturan, dan jadi sangat badung. Tapi ternyata Allah masih ada untukku. Untukku yang telah berlumur dosa dan kesalahan ini.
*
    Suatu hari, saat aku dan Evils Gang sedang mabuk-mabukan, tiba-tiba datanglah sekelompok polisi yang menangkap kami. Rupanya polisi itu mendapat laporan dari masyarakat sekitar yang resah karena kelakuan kami. Toddy dan gengnya berhasil ditangkap, sedangkan aku bisa meloloskan diri. Aku terus berusaha melarikan diri dari kejaran pria berseragam coklat itu, tapi rupanya di  tengah jalan aku mendadak sakaw. Badanku menggigil dan tergeletak tiba-tiba. Tapi aku masih berusaha berjalan, meski tak tentu arah. Tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul pick up yang melaju dengan kecepatan sedang. Karena aku tak punya daya lagi untuk bangun, tak ayal aku tertabrak pick up itu, dan aku kehilangan kesadaran.............
    Ketika aku membuka mata, aku berada di sebuah kamar sederhana. Aku memandang sekeliling dengan heran. Sayup-sayup kudengar sebuah lagu mengalun tak jauh dariku.
♪Beribu dosa tlah terjadi mewarnai langkahku
Hitam diri hitamlah hari yang lalu
Bila tanpa cahayaMu gelap seluruh hidupku
Tak berdaya tak berarti sia-sia....
Buka mataku buka hatiku
Allah terangilah hidupku dengan sinarMu...♪

    Tanpa terasa, airmata membasahi pipiku. Aku merasa menjadi manusia yang sangat hina. Banyak dosa. Berlumur kesalahan...*



Bersambung...



*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Friday 22 August 2014

Cita-cita Eichiro Oda


(Bilik-Kata) Apakah anda tahu siapa Eiichiro Oda atau yang akrab disapa Odachii? Dari namanya, kita tahu bahwa sosok satu ini adalah orang jepang. Meskipun namanya kadang tak lebih populer dibandingkan dengan buah karyanya. Odachi adalah salah satu mangaka Jepang yang saya terkenal di Jepang, bahkan manga ciptaannya menjadi salah satu manga paling populer di negara Indonesia. kalau begitu, ayo mengenal lebih dekat siapa sosok Eiichiro Oda.

Odachii adalah pencipta karakter mangan one peace, salah satu manga paling digandrungi di Indonesia. Manga yang kemudian diangkat menjadi film kartun, yang bercerita tentang bajak laut ini, mengangkat nama Luffy sebagai tokoh utama. Sebelum menciptakan Manga One Peace, Odachii telah membuat manga-manga lain yang juga mendapatkan tempat tersendiri di hati publik.

Sejak masih berusia 4 tahun, Odachii sudah bercita-cita untuk menjadi mangaka profesional. Kegemarannya menggambar tak membuat lelaki kelahiran Kumamoto 1 Januari 1975 ini berfikir profesi lain. Sebagai anak kecil, alasannya sangat sederhana, dengan menjadi mangaka, ia tak perlu pergi ke kantor seperti kebanyakan orang dewasa.

Kegigihan Odachii terhadap cita-citanya membuatnya untuk terus belajar. Sebelum menjadi mangaka profesional. Ia pernah belajar dengan salah satu mangaka senior, Watsuki Nobuhiro yang tak lain adalah pencipta manga Rurouni Kenshin. Ia juga fans berat Akira Toriyama, yang tak lain adalah pengarang manga populer Dragon Ball. Menurut Odachii, Akira Toriyama sensei adalah mangaka terbaik yang pernah ia temui.

Kini, Odachii telah menjadi mangaka yang sangat terkenal di dunia. Bersanding dengan Aoyama Gosho pengarang Detective Conan dan Masashi Kishimoto pengarang Naruto. Nah, jika kalian punya cita-cita, terus berusaha untuk meraihnya ya. (Ima)

Mereka Adalah KITA !!! Lantas Salah dan Tanggung Jawab Siapa??

Banyak bagian dari kehidupan yang sering kita anggap ada bagian yang terpenting dan yang tak penting, ada yang kita lihat dan dikagumi dan ada yang kita benci. Itulah Kehidupan anak jalanan. Dari Sabang sampai Merauke hingga pelosok nusantara, tentu kita sering melihat yang namanya anak jalanan usia-usia 6-10 tahun. Mereka hadir didepan mata kita, di berbagai tempat baik terminal bus, jembatan, perempatan jalan dsb. mereka datang bermodal alat-alat yg bisa menghasilkan bunyi,(musik), dengan pakaian dan tubuh yang kucel dan kusam dan ada yang datang hanya bermodal dengan kedua tangan. semua itu hanya karena UANG yang digunakannya hanya untuk makan dan minum agar bisa bertahan hidup.Banyak masyarakat yang tak mengaharapkan kehadirannya, dan itupun juga buka jalan mereka yang ia pilih, banyak sebab dan faktor kedatangan mereka. Ditnggal orang tua, dipekerjakan dan diekploitasi oleh para preman, bahkan orang tua mereka sendiri, dan ada pula yg berasal tanpa tau asal usulnya.

Ketika saya pergi melakukan perjalanan keluar kota di berbagai kota di tanah jawa sering dijumpai anak-anak jalan beragam usia mulai dari 6-20th. mereka hadir di bus-bus kota, perempatan jalan dan terminal. banyak yang menghiraukan mereka ketika meminta recehan-recehan dari sebagian rezeki kita, ada yang memberi ada pula yang tidak memberi dikarenakan tidak suka atas kehadirannya maupun perilakunya dsb. mereka ngamen ternya ada preman dibelakangnya yang menyuruh mereka, ada orang tua mereka sendiri yang menyuruhnya. banyak sekali alasan mereka meminta-minta hanya agr diberi recehan uang. ketika melihat itu semua jujur sedih sekali melihat mereka, rasanya ingin mengambil merka merawat, dan mendidik mereka, tapi apa daya itulah yang menjadi mimpi saya.( ketika kelak saya akan kaya hehe)mereka itu merupakan bagian dari bangsa besar yaitu bangsa indonesia mereka tidak mendapatkan hak-hak meeka sebagai anak, yang harusnya mendapat kasih sayang dari orang tua, dari kita bahkan dari pemerintahpun wajib turut memperhatikan mereka tidak bisa menikmati masa-masa muda seperti anak sesusia-usia mereka yaitu mengenyam pendidikan, bermain dan belajar. 

dalam menyikapi tersebut memang pemerintah tak bisa 100% untuk disalahkan tetapi harus mempunya problem solving yang tepat untuk mengatasi mereka, generasi-generasi muda bangsa, merekalah bibit sdm indonesia yang berkualitas dan unggul jika kita perhatikan. UUD 45 pun dalam pasalnya 34 menyatakan fakir miskin dan ANAK TERLANTAR dipelihara oleh negara. tetapi apa yang terjadi? faktnya mereka tak diperhatikan. banyak yang sudah mengkalim memperhatikan mereka, mereka di tangkap oleh satpol2 pp didata dan dibina tetapi kenyataannya mereka tetap ada dengan dalih mereka ingin kembali dan tidak mau diataur. jika mereka di perlakukan selayaknya manusia tentu mereka tidak akan kembali ke jalan-jalan. dari situ sebagain dari mereka ada lembaga-lembaga tertentulah yang tergerak mengurusi mereka dengan biaya yang terbatas. dengan tergeraknya individu,lembaga-lembaga yang mengurusi anak-anak jalanan. pemerintah seakan-akan sangat senang mereka tak mengeluarkan biaya-biaya besar untuk mengurusi mereka (dikorupsi aja uangnya). terkadang mereka berdalih dengan mengatasnamakn agama. 

Jika kita semua dan pemerintah sadar akan betul cita-cita kemerdekaan bangsa yang tertulis semuanya dalam UUD 45 harusnya pemerintah akan secara tegas memaksa mereka dengan memperhatikan hak-hak mereka, menghidupinya secara layak menjadikan mereka generasi-genarsi unggul penerus bangsa . ingat Mereka adalah sama dan MEREKA ADALAH KITA!!!

Thursday 21 August 2014

Siapa pengarang detective Conan?




Bilik-Kata – Sejak di filmkan, komik detective Conan menjadi sangat terkenal. Bahkan, di beberapa negara, kartun yang diciptakan oleh komikus jepang ini memiliki penggemar setia. Salah satunya di negara kita Indonesia. Namun tak banyak yang tahu siapa pengarang dari komik ini. Untuk itu, Bilik Kata mengaja kamu untuk berkenalan dengan pengarang tokoh Conan Edogawa ini. simak, yuk.

Dicetective Conan dikarang oleh Aoyama Gosho, pria asli Jepang kelahiran Hokuei pada 21 juni 1963. Sebelum membuat detective Conan yang akhirnya menjadi master piece, Aoyama sudah banyak mengarang komik-komik lainnya yang diterbitkan oleh majalah jepang atau diikutkan dalam sebuah kontes tertentu. Berikut adalah karya Aoyama yang lain.

Komik pertama yang dibuat Aoyama berjudul Cotto Matte, dikarang pada tahun 1987. Selanjutnya, ia mengarang Yaiba pada tahun 1988-1993. Pada tahun yang sama, ia juga mengarang Yonban Sando. Komik lainnya yang cukup terkenal adalah Magic Kaito yang dikarang selama tahun 1988-2007. Tahun 2004, barulah ia mengarang detective Conan hingga saat ini.

Keahlian menggambar Aoyama sudah terlihat sejak masih duduk di kelas 1 SD, kala itu ia pernah menggambar perang Yukiai dan memenangkan kontes menggambar. Hasil karyanya itu kemudian di pajang di Tottori daimaru departement store. Aoyama merupakan alumnus jurusan seni Nihon University Tokyo. Ketika duduk di tingkat pertama, Aoyama pernah mengikuti kontes membuat komik dan itulah yang menjad jankar karirnya hingga saat ini.

Dalam perjalanan karirnya, Aoyama Gosho telah banyak mendapatkan penghargaan. Misalkan, ia berhasil mendapatkan Shogakukan manga award dari Shonen untuk seri manga Yaiba. Penghargaan yang sama juga didapat untuk manga detective Conan. Karena prestasinya itulah, pemerintah kota tempat kelahirannya, memberikan sebuah apresiasi dengan menamai jembatan yang melintasi sungai Yura dengan nama Jembatan Conan. Disekitarnya, juga dibangun patung-patung Conan Edogawa.

Nah, itu dia sekilas tentang Aoyama Gosho. Pengarang komik legendaris detective Conan. (Ima)

Wednesday 20 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 2)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

  
“Oh, jadi lo ada problem? Tenang aja, Sob. Gue punya solusi buat lo biar masalah lo bisa beres!” ucapnya penuh misteri.
    “Apaan solusinya?” tanyaku penuh harap. Toddy lagi-lagi terbahak-bahak.
    “Eit, nggak semudah itu, man! Ada syaratnya!” tukasnya. Aku menghela napas.
    “Apa?”
    “Tapi lo harus janji bakal penuhin syarat ini! Kalau lo nggak bisa menuhin, gue juga nggak bisa kasih solusinya!”
    “Ehm...oke...gue bakalan penuhi syarat lo!” jawabku yakin. Toddy pun langsung memberitahukan syaratnya, diantaranya harus selalu mematuhi perintah Toddy sebagai bos geng, termasuk perintah untuk bolos dan kumpul bareng di markas Evils Geng di gudang sekolah. Setelah itu, Toddy memberikanku seplastik kecil berisi beberapa butir pil merah muda.
    “Apaan nih, Tod?” tanyaku heran.
    “Itu solusi buat masalah lo! Cobain aja! Sekali coba, lo pasti tenang!” dia membujukku. Aku pun merasai pil merah muda itu. Dan sejak saat itulah hidupku makin berantakan.
    Setiap kali pil merah muda yang bernama ekstasi itu habis, aku langsung mencari Toddy. Beberapa kali, Toddy memberi pil itu gratis untukku. Tapi lama-kelamaan ia mengharuskan aku membayar seratus ribu untuk satu bungkus kecil ekstasi. Sementara, dalam seminggu setidaknya aku membutuhkan dua plastik ekstasi. Maka aku harus membayar dua ratus ribu tiap minggu. Dan jika uang yang kupunya telah menipis, maka aku akan beralih profesi menjadi pencopet dadakan di bis atau angkutan umum.
    Selain mulai menggunakan obat-obat terlarang, aku juga mulai senang minum-minuman keras. Tiap pulang sekolah, aku selalu ikut Toddy dan gengnya untuk pesta miras di gudang sekolah yang letaknya cukup jauh dari gedung sekolah.
*
     Selama beberapa bulan, aku sukses menutupi tingkah lakuku dari ibu dan Mbak Ayu. Tapi rupanya, hari itu takdir berkata lain.......
    Siang itu aku tak ada di rumah. Seperti biasa, aku pergi main dengan Toddy dan Gengnya. Setelah pulang, aku buru-buru menuju kamar. Namun aku kaget saat melihat  pintu kamarku terbuka. Siapa yang bisa membukanya ya? Bukankah tadi aku sudah menguncinya? Dengan agak sempoyongan, aku masuk kamar. Dan alangkah kagetnya aku, saat mataku menangkap wajah pucat ibu yang bersimbah air mata sedang duduk di ranjangku, memandang nanar ke sekeliling kamarku yang berantakan.
    “Ngapain Ibu di sini?!” seruku kesal. “Gimana bisa ibu masuk  kamar Dimas?!” bentakku. Ibu berdiri, mendekatiku. Lalu dipandanginya aku yang sedang memelototinya. Diamatinya wajahku yang tirus, badanku yang makin ringkih dan kurus. Ibu tersedu.
    “Apa yang kamu lakukan selama ini, Dimas?! Kenapa kamu menjadi seperti ini?! Apa yang kamu sembunyikan dari Ibu, Nak?!” tanyanya geram bercampur isak tangis. Aku membisu. Tertunduk. Lalu sedetik kemudian, aku kembali memelototi ibu.
    “Itu bukan urusan Ibu! Dimas udah gede, Bu! Dimas bisa atur hidup Dimas sendiri! Ibu nggak usah ikut campur!” bentakku. Ibu terbelalak. Dia menatapku lekat-lekat, seolah meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat sekarang benar-benar aku.
    “Masya Allah, Dimas...kenapa kamu berbuat seperti ini...kenapa kamu tega berbicara begitu pada Ibu.....dan....ini apa...Nak?” tanya ibu tersendat-sendat sambil menunjukkan plastik berisi obat terlarang itu padaku. Aku merebutnya.
    “Ibu dapat dari mana obat ini?! Udahlah Bu! Ibu nggak usah ikut campur urusan Dimas! Biar Dimas atur hidup Dimas sendiri!” seruku.
    “Ya Allah, Dimas...istighfar, Nak, sadar! Tinggalkan barang-barang haram itu, Nak...” ucap ibu sambil tetap terisak. Aku makin kesal.*

Bersambung...



*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi. - See more at: http://bilik-kata.blogspot.com/2014/08/maafkan-aku-ibu-part-1.html#sthash.fSAOCO0P.dpuf

*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi. - See more at: http://bilik-kata.blogspot.com/2014/08/maafkan-aku-ibu-part-1.html#sthash.fSAOCO0P.dpuf
*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi

Ruang sunyi ditengah keramaian



Sebagian orang membutuhkan kesunyian untuk beberapa hal : Menyendiri, merenung, hingga mencari inspirasi. Kadang, tak semua kerasan berada ditengah keramaian. Ada yang merasa risih dan terhunus. Untuk bisa rileks, kadang lingkungan harus sesuai dengan “ketenangan” versi dirinya. Sejak mulai belajar fiksi, dan serius menulis novel, saya baru menyadari jika ruang keramaian, yang kadang tak nyaman, berisik, dan bising itu ternyata adalah sumber inspirasi yang unik.

Bagaimana tidak, ketika kuliah ke kota, hampir saya susah menemukan ruang kesunyian. Kecuali jika sudah masuk waktu malam, diatas jam 12. Ketika di kampus, suasana ramai, ketika di jalanan, ramai plus macet, ketika di kos, suasana berisik mirip perkampungan mahasiswa. Lantas, untuk bisa fokus menulis sesuatu, akankan kita pergi menyepi ke atas gunung atau ke tepian pantai?

Ruang keramaian, membuat kita “survive” dalam menulis. Terutama, bagi orang-orang seperti saya yang butuh menepi untuk menghasilkan satu karya tulis yang reflektif. Apalagi, ketika niat menulis, mulai dari menulis tugas majalah, novel, opini serius, hingga status di facebook. Saya semaksimal mungkin untuk merangkai kata-kata yang baik. Dan itu butuh menepi.

Di rumah, saya diuntungkan dengan lingkungan yang tenang. Jam 8 malam, aktivitas warga sudah lengang. Rata-rata sudah berada di dalam rumah masing-masing. Saya duduk diteras, sebelah barat rumah ada sungai kecil untuk pengairan sawah. Sungai itu menghasilkan suara gemericik yang khas. Suasana yang sejuk dan representatif itu, membuat saya kerasan berlama-lama untuk menulis.

Maka, jika terus ketergantungan dengan lingkungan. Mana mungkin saya bisa melanjutkan hobi menulis? Akhirnya, dengan sekuat tenaga, saya mampu menciptakan “ruang” sendiri. Ruang sunyi ditengah keramaian. Jujur, saya tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya. Karena itu mengalir saja. Misalkan, ketika melihat anak-anak kecil mengemis, jiwa saya seperti terdorong ke ruang sunyi yang membuat saya “mampu” menuliskannya. Padahal, sebelumnya fenomena seperti itu berlangsung biasa saja. Tak sempat berfikir untuk menuliskan, karena sudah riwuh dengan kemacetan, asap kenalpot, suara klakson yang bising dan sebagainya.

Keramaian, kadang harus kita nikmati sebagai sebuah sumber inspirasi. Bukan suatu masalah atau hal yang menjenuhkan. Kita harus berupaya menikmati “keramaian” seperti orang-orang yang sangat takut kesepian. Lingkungan, se ramai apapun, se kumuh apapun, hanyalah sebuah dimensi riil. Sementara ide, inspirasi, dan kekuatan imajinasi kita bersemayam dalam dimensi maya di dalam jiwa. Bukan lingkungan yang harus “menciptakan” kita tapi kitalah yang “menciptakan” lingkungan. Minimal, menciptakan ruang sendiri. Ruang sunyi ditengah keramaian.

Karena sunyi atau ramai kadang bukan soal hal-hal indrawiyah seperti suara bising yang kita dengar, banyaknya-sedikitnya manusia yang kita lihat, sesak pengapnya lingkungan yang kita rasakan. Tetapi sunyi dan ramai itu soal bagaimana kita merasakan dan memandang sesuatu. Banyak yang merasa kesepian, meski setiap hari ia berkunjung di pusat-pusat keramaian. Atau banyak yang hidupnya riuh dan ramai, sekalipun ia hanya berbalas sapa di jejaring sosial. Sementara di sekitarnya tak ada siapa-siapa.

Kita harus memulai menciptakan ruang itu.

20 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz

Tuesday 19 August 2014

Hanya kata, Hanya kita



Saya pernah berbincang dengan seorang penyair. Hanya saja, di lingkungannya sendiri, ia lebih dikenal sebagai pedagang yang kemudian menjadi pengusaha. Yang mengenalnya sebagai penyair hanya komunitas sastra tempatnya berada. Kenapa? Karena tidak semua orang tahu kalau sesungguhnya dia suka menulis puisi, membuat sajak dan kata-kata. Selain itu, ia juga tak mungkin menyebut dirinya sebagai “penyair”. Panggilan itu harus disematkan oleh orang lain yang sudah membaca karya sastranya.

Sebagaimana penyair lainnya, filosofi hidupnya memang dalam. Ia menceritakan kisah asmaranya, ketika ia hendak melamar sang pacar. Ketika itu, calon mertuanya bertanya. Dengan apa kamu menafkahi anakku? Ia hanya menjawab : dengan kata-kata. Jawaban itu, hampir saja membuat ayah sang pacar murka dan tak berniat merestui hubungan mereka.

Hal itu pula yang membuat pacarnya kecewa. Pacar dan mertuanya mungkin belum tahu kalau ia sudah mulai berdagang. Ia juga mengelola toko kelontong milik keluarga yang sudah hampir dua tahun ia kelola sendiri. Jangankan untuk membeli beras, membeli motor pun bisa. Lantas, kenapa ia harus bilang akan hendak menafkahi dengan kata-kata? orang tua mana yang tega anak perempuannya hidup menderita? Sekalipun dengan lelaki yang ia cintai.

Penyair itu bercerita, bahwa aktivitas berdagangnya selama ini hanya untuk membiayai hobinya yang suka membuat syair. Setiap bulan sekali ia langganan majalah sastra, setiap minggu ia hunting buku sastra keluaran terbaru di toko buku. Jika ada agenda seminar, workshop, konser, teater, dan sebagainya, ia dengan rela mengikuti meski berbayar mahal. Jadi, sebelum ia menikah, kerja kerasnya mencari uang itu hanya untuk memuluskan hobi dan kegemarannya.

Penyair itu juga tak ingin menunjukkan kemapanan hidup di depan pacar dan calon mertuanya. Apakah dengan ini calon mertuanya itu tak merestui dan apakah gadis itu akan meninggalkannya, ia tak peduli. Karena baginya, cinta sejati bukan tercipta dari kemapanan, tapi dari perjuangan. Ia tak ingin terlihat mapan di depan sang perempuan dan calon mertuanya. Meskipun dalam sebulan, ia bisa mendapatkan penghasilan bersih lebih dari 2 juta. Tahun itu, uang 2 juta masih punya taji, itu sekitar tahun 1987.

Ternyata, sang pacar tak menjauhinya, dan tetap gigih meyakinkan ayahnya bahwa ia adalah calon suami yang cocok. Sampai akhirnya sang Ayah luluh dan hubungan mereka berdua direstui. Pacar yang kini jadi istrinya itu, tertarik dengan penyair itu karena membaca puisi-puisi yang telah ia buat.

Istrinya itu tertarik hanya dengan kata-kata yang akhirnya menyatukan mereka berdua. Penyair itu juga menjelaskan, andaikan saya tak hobi membuat syair, hobi membeli majalah dan buku, hobi nonton teater, ikut pekan budaya dan lain-lain, mungkin ia tak terdorong untuk mengumpulkan uang dengan berwirausaha. Semua itu ia lakukan untuk memenuhi hobi. Maka, ketika ada pertanyaan. Mau kamu nafkahi anakku dengan apa? Jawabnya dengan “kata-kata” itu sebenarnya bukan ngawur. Tapi memang “kata-kata” itulah yang menguatkan hidupnya.

Kini, ia tekun dengan bisnisnya dan tekun dengan hobinya. Jika puisi atau sajaknya dimuat di media, ia tak lagi mengambil honornya, melainkan memberikan ke lembaga sosial atau lembaga infaq. Karena ia berujar, bahwa sumber dari tulisannya itu adalah kehidupan masyarakat dan harus dikembalikan ke masyarakat. Ia pun juga mulai membuat buku kumpulan puisi dan ia cetak menjadi buku sendiri. Lalu ia bagikan ke teman-teman atau sanak kerabatnya.

Hanya kata, dan hanya kita.. itulah kalimat yang diucapkannya untuk meminang sang gadis. Oh, indah sekali.

A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat kata-kata

Sunday 17 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 1)



Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*


 Cahaya lilin yang temaram menerangi gulitanya malam ini. Belakangan ini PLN makin gemar saja memadamkan listrik secara bergilir. Kutatap foto yang berada di tanganku. Kuamati wajah ayu yang tergambar di sana. Wajah itu masih sangat jelas dalam pandanganku, meski hanya disinari cahaya lilin. Aku tersenyum sendiri, namun kemudian kurasakan mataku membasah.

  “Ibu....maafin Dimas....” ucapku lirih dalam airmata yang tak terbendung. Dalam gelap, kini memoriku melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu.

 *

            Saat  itu usiaku limabelas tahun. Masih duduk di bangku kelas satu SMA. Sebenarnya, sejak dulu aku bukan tipe anak yang nakal. Tapi, sejak masuk SMA dan mengenal Toddy dan gengnya, kelakuanku berubah seratus delapanpuluh derajat.

            Aku ingat, kala itu aku sedang menunggu bis, lalu tiba-tiba Toddy menghampiriku. Ketika itu aku merasa ngeri sendiri melihat Toddy yang berjalan ke arahku dengan sempoyongan.

           “Lo mau?! Ini...enak banget! Hahahaa!” dia berdiri di hadapanku sambil mengacung-acungkan botol minuman keras tepat di mukaku. Aku yang ketakutan segera lari menjauhi Toddy, namun tiba-tiba keempat temannya menghadangku. Salah satu dari mereka, yang kutahu bernama Doni mencengkeram kerah bajuku.

         “Hei, anak sok alim! Lo mau nggak gabung sama kita-kita?! Gue jamin, semua masalah lo akan hilang!” serunya. Aku berusaha berontak dari cengkeraman Doni, namun gagal.

        “Mau ke mana lo, ha?! Lo nggak bisa lolos dari gue!”  seketika Toddy sudah ada di hadapanku. Aku masih diam. Tiba-tiba, Pak Tardi, penjaga sekolah datang melerai kami. Huuft, Alhamdulillah.... Aku pun terbebas dari Toddy dan gengnya.

      Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Waktu yang terus bergulir memaksaku untuk berurusan dengan mereka lagi. Hal ini terjadi saat aku kelas dua. Saat itu, kondisi jiwaku sedang labil. Keluargaku berantakan. Ayah yang begitu kucintai tega meninggalkan ibu, aku, dan Mbak Ayu, kakakku demi perempuan lain. Perlakuan itu membuatku mendendam pada lelaki yang dahulu sangat kubanggakan itu. Penderitaan kami belum berakhir sampai di situ. Ibuku didiagnosa dokter menderita kanker otak stadium tiga. Akhirnya Mbak Ayu yang harus membanting tulang menafkahi ibu dan aku dengan mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa media dan menjadi penerjemah tulisan-tulisan di salah satu majalah asing. Meski tak seberapa, kami tetap bersyukur masih bisa survive walaupun ayah telah meninggalkan kami.

    Namun kesalahan malah terjadi padaku. Diriku. Anak lelaki satu-satunya yang sangat dibanggakan kedua orangtua dan kakakku. Aku bukannya membantu ibu dan Mbak Ayu dengan mempersembahkan prestasi-prestasi gemilang, tapi aku malah menjelma menjadi Dimas yang lain. Pribadi yang sangat berbeda. Bahkan diriku sendiri pun tak bisa mengenalinya.

  Aku mulai gemar melalaikan tugas sekolah, tidur di kelas, banyak alpa, dan berteman dengan orang-orang yang “salah”. Salah satunya dengan Toddy dan gengnya yang dulu sempat kumusuhi itu. Begini kata Toddy saat aku menawarkan diri menjadi bagian dari gengnya yang diberi nama Evils Gang itu.

   “Wohoho...ternyata sobat alim kita berubah pikiran! Kalau dulu kita yang ngejar-ngejar dia buat dijadiin anggota, sekarang malah dia yang nawarin dirinya! Hahaha! Lo kenapa, Dim? Salah makan obat apa lo, sehingga lo bisa ngorbanin ke”alim”an lo itu dan masuk geng gue?! Hahaha!” dia meledekku sambil tertawa-tawa, diikuti para kaki tangannya yang juga menertawaiku. Aku hanya bisa menceritakan masalah yang membelit keluargaku sambil tertunduk. Tawa Toddy meledak lagi saat aku usai bercerita.
*
Bersambung...

*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

 

Stres ternyata memiliki manfaat, apa saja?


Bilik-Kata – Banyak orang menghindari stress, meskipun pada akhirnya semua orang pasti merasa stress. Namun ternyata, tidak semua stress itu buruk bagi kesehatan. Selama ini, stress memang dikaitkan dengan kesehatan mental dan fisik. Banyak orang menjadi gila karena stress, atau menjadi kurus karena stress. Padahal, stress juga bisa membuat seseorang menjadi semakin sigap dan kuat. Bagaimana bisa?

Kompas Health menjelaskan, Ketika kita merasa stres, tubuh akan mengirimkan sinyal mengenai bagaimana tekanan yang kita alami berpengaruh secara fisik dan mental. Seperti halnya manusia purba yang berhadapan dengan singa, stres juga akan memicu respon "lawan atau tinggalkan" yang akan berpengaruh pada sistem saraf dan hormon. Manusia purba yang stres terbukti punya daya tahan hidup lebih tinggi.

Ketika respon "lawan atau tinggalkan" itu muncul, kita akan mengalami detak jantung meningkat, tangan menjadi berkeringat, mata lebih lebar, dan kita menjadi lebih sigap. Dengan perubahan tersebut, kita pun seolah merasa bisa berlari lebih cepat atau menghindar dari sesuatu. Stres memang membuat kita lebih gesit, lebih kuat, dan berpikir cepat.

Salah satu manfaat stres yang mungkin kita rasakan adalah peningkatan daya ingat. Hormon yang dikeluarkan saat stres memang membuat kita lebih fokus dan mudah mengingat. Stres juga menyehatkan sistem kekebalan tubuh sehingga kita lebih kuat melawan infeksi. (Psi)

Tuhan, Ajari aku untuk menerima

Andai kita bisa memilih. Sebuah kalimat retoris yang sangat imajinatif. Meski pada kenyataannya, tak semua hal bisa kita pilih. Seperti kelahiran, dimana kita dilahirkan, dari rahim siapa, dari keluarga seperti apa, dan dengan wujud/rupa seperti apa. Di kemudian waktu, tak sedikit dari kita yang membuat definisi-defisini. Saya miskin, saya jelek, saya rendah, saya ganteng, saya darah biru dan seterusnya. Dan kenyataannya, kita memang senang membuat sekat-sekat seperti itu.

Hal itu juga berlanjut dalam sosio-kultural kita. Dengan membuat sekat-sekat berdasarkan kelompok-kelompok ideologis, tingkat pendidikan, pangkat struktural dan lain sebagainya. Mereka yang keterpilihannya sebagai “orang bawah” merasa harus mengukur diri dengan “orang atas”. Dan “orang atas” merasa harus lebih disanjung dari “orang bawah”. Meski pada akhirnya, semua akan berpulang dalam kesadaran spiritual masing-masing. Dalam istilah jawa, nrimo ing pandum.

Padahal, dua definisi yang berlawanan itu kita buat karena ada pembanding. Misal ada atas berarti ada bawah. Ada jelek ada baik, ada kaya ada miskin, ada gaul ada cupu, ada hitam ada putih, dan seterusnya. Tidak ada orang baik, jika semuanya baik. Tidak ada pula orang kaya, jika semuanya kaya. Orang disebut “orang baik” karena di sisi yang lain ada orang yang dianggap “jelek”. Orang yang disebut kaya, karena disatu sisi ada orang miskin. Orang disebuat gaul, karena ada yang cupu. Dua istilah yang muncul karena ada pembanding.

Selain itu, kadang kita mengukur diri kita dengan orang lain. Utamanya, yang lebih tinggi. Misalkan, kita mengukur ketampanan atau kecantikan dengan para artis yang setiap hari berdandan itu. Kita mengukur “ketercukupan” hidup dengan mereka yang memiliki segalanya. Kita mengukur kehormatan berdasar pangkat struktural. Sesuatu yang kadang membuat kita lupa bahwa “aku” adalah “aku”, bukan “dia” atau “mereka”. Dan lupa bahwa sebenarnya kita sudah cukup untuk sekedar hidup dan berbagi. Perihal amanah berupa kekayaan dan jabatan, kita hanya bisa berikhtiar dan Tuhan lah yang akan memberikan jawabannya.

Di banyak kondisi, tak semua orang bisa dengan mudah menerima kehidupan. Ada sebagian yang mengutuki. Mengutuki keadaan dimana ia dilahirkan, dengan siapa, dan seperti apa. Akhirnya di beberapa kondisi, sikap tidak menerima itu berujung pada perilaku immoral : Pencurian, prostitusi, narkoba dan lain sebagainya. Seseorang yang tidak bisa menerima bahwa dia bukan “idaman pujaannya” bisa berujung pada bunuh diri dan pelarian-pelarian destruktif seperti narkotika hingga free seks.

Kemampuan menerika “aku” sebagai “aku” adalah hal sederhana yang kadang sulit dilakukan. Kadang kita selalu tak puas oleh apa yang kita miliki, terselip keluh dan gerutu terhadap keadaan yang kita sebuat sebagai sebuah takdir. Kemampuan menerima adalah kemampuan yang besar bagi mereka yang berjiwa besar.

Tuhan, ajari kami untuk menerima.

17 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat kata-kata