Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*
Cahaya lilin yang temaram menerangi gulitanya malam ini. Belakangan ini PLN makin gemar saja memadamkan listrik secara bergilir. Kutatap foto yang berada di tanganku. Kuamati wajah ayu yang tergambar di sana. Wajah itu masih sangat jelas dalam pandanganku, meski hanya disinari cahaya lilin. Aku tersenyum sendiri, namun kemudian kurasakan mataku membasah.
“Ibu....maafin Dimas....” ucapku lirih dalam airmata yang tak terbendung. Dalam gelap, kini memoriku melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu.
*
Saat itu usiaku limabelas tahun. Masih duduk di bangku kelas satu SMA. Sebenarnya, sejak dulu aku bukan tipe anak yang nakal. Tapi, sejak masuk SMA dan mengenal Toddy dan gengnya, kelakuanku berubah seratus delapanpuluh derajat.
Aku ingat, kala itu aku sedang menunggu bis, lalu tiba-tiba Toddy menghampiriku. Ketika itu aku merasa ngeri sendiri melihat Toddy yang berjalan ke arahku dengan sempoyongan.
“Lo mau?! Ini...enak banget! Hahahaa!” dia berdiri di hadapanku sambil mengacung-acungkan botol minuman keras tepat di mukaku. Aku yang ketakutan segera lari menjauhi Toddy, namun tiba-tiba keempat temannya menghadangku. Salah satu dari mereka, yang kutahu bernama Doni mencengkeram kerah bajuku.
“Hei, anak sok alim! Lo mau nggak gabung sama kita-kita?! Gue jamin, semua masalah lo akan hilang!” serunya. Aku berusaha berontak dari cengkeraman Doni, namun gagal.
“Mau ke mana lo, ha?! Lo nggak bisa lolos dari gue!” seketika Toddy sudah ada di hadapanku. Aku masih diam. Tiba-tiba, Pak Tardi, penjaga sekolah datang melerai kami. Huuft, Alhamdulillah.... Aku pun terbebas dari Toddy dan gengnya.
Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Waktu yang terus bergulir memaksaku untuk berurusan dengan mereka lagi. Hal ini terjadi saat aku kelas dua. Saat itu, kondisi jiwaku sedang labil. Keluargaku berantakan. Ayah yang begitu kucintai tega meninggalkan ibu, aku, dan Mbak Ayu, kakakku demi perempuan lain. Perlakuan itu membuatku mendendam pada lelaki yang dahulu sangat kubanggakan itu. Penderitaan kami belum berakhir sampai di situ. Ibuku didiagnosa dokter menderita kanker otak stadium tiga. Akhirnya Mbak Ayu yang harus membanting tulang menafkahi ibu dan aku dengan mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa media dan menjadi penerjemah tulisan-tulisan di salah satu majalah asing. Meski tak seberapa, kami tetap bersyukur masih bisa survive walaupun ayah telah meninggalkan kami.
Namun kesalahan malah terjadi padaku. Diriku. Anak lelaki satu-satunya yang sangat dibanggakan kedua orangtua dan kakakku. Aku bukannya membantu ibu dan Mbak Ayu dengan mempersembahkan prestasi-prestasi gemilang, tapi aku malah menjelma menjadi Dimas yang lain. Pribadi yang sangat berbeda. Bahkan diriku sendiri pun tak bisa mengenalinya.
Aku mulai gemar melalaikan tugas sekolah, tidur di kelas, banyak alpa, dan berteman dengan orang-orang yang “salah”. Salah satunya dengan Toddy dan gengnya yang dulu sempat kumusuhi itu. Begini kata Toddy saat aku menawarkan diri menjadi bagian dari gengnya yang diberi nama Evils Gang itu.
“Wohoho...ternyata sobat alim kita berubah pikiran! Kalau dulu kita yang ngejar-ngejar dia buat dijadiin anggota, sekarang malah dia yang nawarin dirinya! Hahaha! Lo kenapa, Dim? Salah makan obat apa lo, sehingga lo bisa ngorbanin ke”alim”an lo itu dan masuk geng gue?! Hahaha!” dia meledekku sambil tertawa-tawa, diikuti para kaki tangannya yang juga menertawaiku. Aku hanya bisa menceritakan masalah yang membelit keluargaku sambil tertunduk. Tawa Toddy meledak lagi saat aku usai bercerita.*
“Ibu....maafin Dimas....” ucapku lirih dalam airmata yang tak terbendung. Dalam gelap, kini memoriku melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu.
*
Saat itu usiaku limabelas tahun. Masih duduk di bangku kelas satu SMA. Sebenarnya, sejak dulu aku bukan tipe anak yang nakal. Tapi, sejak masuk SMA dan mengenal Toddy dan gengnya, kelakuanku berubah seratus delapanpuluh derajat.
Aku ingat, kala itu aku sedang menunggu bis, lalu tiba-tiba Toddy menghampiriku. Ketika itu aku merasa ngeri sendiri melihat Toddy yang berjalan ke arahku dengan sempoyongan.
“Lo mau?! Ini...enak banget! Hahahaa!” dia berdiri di hadapanku sambil mengacung-acungkan botol minuman keras tepat di mukaku. Aku yang ketakutan segera lari menjauhi Toddy, namun tiba-tiba keempat temannya menghadangku. Salah satu dari mereka, yang kutahu bernama Doni mencengkeram kerah bajuku.
“Hei, anak sok alim! Lo mau nggak gabung sama kita-kita?! Gue jamin, semua masalah lo akan hilang!” serunya. Aku berusaha berontak dari cengkeraman Doni, namun gagal.
“Mau ke mana lo, ha?! Lo nggak bisa lolos dari gue!” seketika Toddy sudah ada di hadapanku. Aku masih diam. Tiba-tiba, Pak Tardi, penjaga sekolah datang melerai kami. Huuft, Alhamdulillah.... Aku pun terbebas dari Toddy dan gengnya.
Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Waktu yang terus bergulir memaksaku untuk berurusan dengan mereka lagi. Hal ini terjadi saat aku kelas dua. Saat itu, kondisi jiwaku sedang labil. Keluargaku berantakan. Ayah yang begitu kucintai tega meninggalkan ibu, aku, dan Mbak Ayu, kakakku demi perempuan lain. Perlakuan itu membuatku mendendam pada lelaki yang dahulu sangat kubanggakan itu. Penderitaan kami belum berakhir sampai di situ. Ibuku didiagnosa dokter menderita kanker otak stadium tiga. Akhirnya Mbak Ayu yang harus membanting tulang menafkahi ibu dan aku dengan mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa media dan menjadi penerjemah tulisan-tulisan di salah satu majalah asing. Meski tak seberapa, kami tetap bersyukur masih bisa survive walaupun ayah telah meninggalkan kami.
Namun kesalahan malah terjadi padaku. Diriku. Anak lelaki satu-satunya yang sangat dibanggakan kedua orangtua dan kakakku. Aku bukannya membantu ibu dan Mbak Ayu dengan mempersembahkan prestasi-prestasi gemilang, tapi aku malah menjelma menjadi Dimas yang lain. Pribadi yang sangat berbeda. Bahkan diriku sendiri pun tak bisa mengenalinya.
Aku mulai gemar melalaikan tugas sekolah, tidur di kelas, banyak alpa, dan berteman dengan orang-orang yang “salah”. Salah satunya dengan Toddy dan gengnya yang dulu sempat kumusuhi itu. Begini kata Toddy saat aku menawarkan diri menjadi bagian dari gengnya yang diberi nama Evils Gang itu.
“Wohoho...ternyata sobat alim kita berubah pikiran! Kalau dulu kita yang ngejar-ngejar dia buat dijadiin anggota, sekarang malah dia yang nawarin dirinya! Hahaha! Lo kenapa, Dim? Salah makan obat apa lo, sehingga lo bisa ngorbanin ke”alim”an lo itu dan masuk geng gue?! Hahaha!” dia meledekku sambil tertawa-tawa, diikuti para kaki tangannya yang juga menertawaiku. Aku hanya bisa menceritakan masalah yang membelit keluargaku sambil tertunduk. Tawa Toddy meledak lagi saat aku usai bercerita.*
Bersambung...
*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment