Oleh : A Fahrizal Aziz*
Dulu, ketika mendengar Gus Dur wafat. Saya berfikir sejenak. Apakah Gus Dur benar-benar telah pergi? Hal serupa juga saya fikirkan ketika Kang Moeslim Abdurrahman wafat. Pasalnya, Gus Dur ada dimana-mana. Meski bukan fisiknya, setidaknya, nama dan pikiran-pikirannya bercokol kuat di benak para anak-anak muda NU atau yang bukan NU. Melalui Gusdurian, pemikiran-pemikiran bergasnya tersemai dengan kuat. Begitupun Kang Moeslim yang menjadi ideolog bagi anak-anak muda Muhammadiyah yang bernaung di JIMM.
Dua tahun setelah kepergian Gus Dur, saya masih merasakan “kehadirannya”. Bukan melalui Gus Dur langsung, melainkan melalui anak-anak muda yang berbicara soal pluralisme dan pribumisasi islam. Pun ketika Kang Moeslim meninggal, hingga kini pun, saya masih merasakan bagaimana “Islam Transformatif” yang digagas beliau itu tetap hidup dan disuarakan.
Akhirnya, hidup dan mati seseorang bisa bermakna ganda. Orang yang mati karena rapuhnya jasad, dan orang yang benar-benar mati. Jasad atau tubuh memang akan lapuk, tetapi disatu sisi, jiwa dan fikiran seseorang bisa terus hidup sampai kapanpun. Bahkan bisa puluhan kali lebih lama dari usia jasadnya.
Misalkan, seorang Chairil Anwar, meninggal diusia yang masih belia. Akan tetapi puisi-puisinya sudah berusia sekitar 66 tahun lamanya. Puisi itu berisi jiwa dan pemikiran-pemikirannya. Sampai sekarang, bagi penikmat sastra. Sosok Chairil masih “hidup”, hanya bukan tubuhnya, akan tetapi jiwa dan fikiran-fikirannya.
Atau sang ideolog Marx, yang meski sudah pergi ratusan tahun lalu, namun seolah-olah ia selalu hadir disetiap diskusi ideologis tentang sosialis dan komunis. Bahkan, fikiran-fikiran Marx mampu membentuk barisan komunitas-komunitas besar. Siapa kira seorang Karl Marx yang jasadnya sudah menjadi renik dan berbaur dengan tanah itu, ternyata jiwa dan fikiran-fikirannya masih mengembara kemana-mana.
Jasad yang terbangun atas susunan kerangka biologis ini memang tak akan bertahan lama. Sekitar usia 60 ketas, akan ada tanda-tanda mulai rapuh. Namun, jiwa dan fikiran seseorang akan bertahan lebih lama. Jiwa berkaitan dengan sikap dan perilaku, fikiran berisi karya-karya monumental.
Dalam hidup, seseorang memang harus meninggalkan jejak. Jejak yang bukan sekedar jejak, tapi jejak yang membekas. Bekasnya bisa berupa karya tulis, karya arsitektur, lukisan, prasasti hingga bekas berupa sikap yang terkenang dihati orang-orang yang kemungkinan akan hidup lebih lama dari kita. orang-orang itu kemudian akan mengabarkan atau menuliskan apa yang kita perbuat selama hidup, dan dengan itu kita bisa mati dengan tenang. Minimal, kita bisa berpindah alam dengan damai, sementara jiwa dan fikiran sudah kita tinggalkan atau titipkan kepada orang-orang yang masih dan akan hidup setelah kita.
Apalagi, dalam keyakinan teologis kita, orang yang mati tak benar-benar pergi atau menghilang. Kita percaya bahwa mereka masih hidup ditempat lain yang tak mampu kita jamah. Suatu saat, kita yakin akan bertemu kembali dengan mereka.
Dengan mati, seseorang bisa abadi. Asalkan selama hidup, ia meninggalkan jejak-jejak yang membekas di hati.
(*) Inisiator Bilik Kata.
No comments:
Post a Comment