Oleh : A Fahrizal Aziz*
Dulu, ketika libur kuliah lumayan agak panjang, saya menyempatkan berkunjung ke SMA, bertemu adik-adik jurnalistik. Disana, kadang kami sharing banyak hal, sampai-sampai ada yang secara khusus curhat melalui sms maupun telp hingga media sosial. Saya menanggapi dengan santai, dan seolah-olah saya paham dan (sedang) berada di dunia mereka.
Jujur, setelah dua tahun lulus dari SMA, saya masih susah “move on”. Ketika ditanya, sekarang kelas berapa? Atau sekolah dimana? dengan spontan saya menjawa SMA. Padahal, kala itu saya sudah kuliah semester empat. Bahkan, ketika melihat anak-anak SMA lalu lalang berangkat-pulang sekolah, saya masih sangat merasa “bagian dari mereka”.
Padahal, ketika muncul lagu berjudul “Kisah kasih di sekolah” yang dinyanyikan mendiang Chrisye, dan dalam liriknya berkata : tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah. Saya adalah orang pertama yang mengkritik. Siapa tahu dunia perkuliahan nanti lebih indah. Dan ternyata, dari semua teman kelas, saya termasuk yang paling susah “move on”. Hal itu terbukti ketika kami melakukan acara reuni, entah buka puasa bersama atau anjangsana ke guru-guru.
Saya, sering mengunjungi anak-anak jurnalis dan komunikasi yang saya bangun dengan mereka lumayan mengalir. Tak ada rasa sungkan atau tedeng aling-aling. Bahkan, meskipun saya lebih tua dari mereka, dalam perbincangan atau agenda-agenda jurnalistik, saya lebih “merasa muda” dibanding mereka semua. Saya terkesan bersemangat dan enerjik, meskipun saya tak akan lagi terlibat secara total karena kapasitasnya sebagai alumni.
Di Malang, ketika ada acara dengan anak-anak SMA, dimana teman-teman kuliah rata-rata memasang sikap sebagai mahasiswa/orang lebih senior dari mereka, kadang saya lupa kalau mereka adalah adik tingkat. Saya berbincang dengan mereka seolah saya seumuran dengan mereka. Dengan tema-tema anak muda dan ketawa-ketiwi khas anak muda. Baru diujung perbincangan saya ingat : oya, saya kan mahasiswa.
Perilaku seperti itu bukan sifat alamiah, tetapi memang saya sangat menikmati dunia SMA. Sepotong sejarah yang menurut saya sangat terkesan dan terkenang. Di SMA dululah, saya benar-benar berproses. Mulai dari awal kenakalan dan awal perkembangan kognisi dan afeksi. Tak salah jika masa SMA disebut sebagai masa pencarian jati diri. Dan rasa-rasanya, belum sampai saya menemukan jati diri itu, sudah terlanjur lulus. Apalagi, saya lulus ketika usia baru beranjak 17 tahun.
Ketika SMA itu pula, kita banyak mengenal orang dengan berbagai macam karakter. Melakukan perjalanan jauh untuk meraih sesuatu, dan berkenalan dengan berbagai kegiatan yang jarang kita fikirkan sebelumnya. Yang tak kalah serunya, saya mulai berkenalan dengan berbagai macam lagu-lagu barat, jepang dan korea. Masa SMA, yang hanya 3 tahun itu, adalah sebuah pengembaraan yang sangat bermakna.
Untuk itulah, apa jangan-jangan diusia saya yang kini sudah menginjak angka 22, saya masih terjebak diusia 17 tahun? Dimana saya masih ingin “mengembara” lebih lama lagi? padahal di satu hal, diusia saya yang sekarang ini, sudah seharusnya mengembara ke dunia lain. Dunia yang lebih riil, dunia yang membutuhkan jati diri, bukan lagi sebuah pencarian.
Harusnya, saya sudah menemukan “who Am I” dan dengan “Who Am I” itulah saya melakoni drama-drama yang lain dalam mozaik sejarah selanjutnya. Saya harus segera hijrah dari “jiwa 17 tahun” segera dan murni menjadi manusia diatas 20 tahun. Semoga.
(*) Inisiator Bilik Kata
No comments:
Post a Comment