Sunday, 24 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 3)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

   “Udahlah, Ibu diem aja! Nggak usah sok-sok nasihatin Dimas!! Ibu keluar! Keluar dari kamar Dimas! Jangan ganggu Dimas, Bu!” bentakku sambil mendorong tubuh ibu keluar dari kamarku. Karena keadaan ibu yang sudah sangat lemah, ibu pun jatuh. Kepalanya terbentur lantai. Tapi ibu bisa berdiri lagi meski agak sempoyongan.
    “Dimas....kamu...keterlaluan....” ucap ibu tersendat. Aku tak peduli. Bersamaan dengan itu, Mbak Ayu datang.
    “Assalamualaikum! Ibu?!”  dia masuk dan mencari ibu. Sampai di depan kamarku, ia terkejut melihatku dan ibu sedang bersitegang.
    “Ya Allah, Ibu, ada apa?! Ibu kenapa, Bu?” tanya Mbak Ayu cemas. Tiba-tiba ia mengarahkan pandangan padaku.
    “Oh, kamu masih inget rumah juga ternyata!” katanya sinis. Aku memelototinya.
    “Mbak nggak usah banyak ngomong!” tukasku. Mbak Ayu memandangku marah.
    “Oh, jadi kamu udah berani ngelawan ibu dan aku?! Aku sangat menyesal punya adik seperti kamu! Mengecewakan!” bentaknya. Ibu langsung menengahi.
    “Ayu, sudah, jangan ngomong begitu sama adikmu!” Mbak Ayu ganti menatap ibu.
    “Bu, dia itu sudah keterlaluan! Tadi Ayu dapet surat pemberitahuan dari sekolahnya, bahwa anak ini dikeluarkan dari sekolah karena mengonsumsi narkoba dan minuman keras, dan dia juga sudah jadi pencuri Bu! Aku menyesal punya adik seperti dia!” seru Mbak Ayu. Ibu membelalak.
    “Apa?!” seru ibu. Aku pun kaget, tapi aku sudah tak peduli lagi.
    “Biar aja! Biarin Dimas dikeluarin dari sekolah! Dimas udah muak sekolah! Dimas udah muak sama kalian!” bentakku sambil menuding ibu dan Mbak Ayu. Obat-obat terlarang dan minuman keras itu berhasil mengubahku jadi Dimas yang kejam. Mbak Ayu makin marah mendengarnya, sementara ibu makin larut dalam tangisnya.
    “Oh, baiklah kalau begitu! Berarti Mbak nggak perlu susah-susah nasihatin kamu lagi! Pergi kamu dari sini! PERGI! Dasar anak nggak tahu terima kasih!” Mbak Ayu mengusirku. Ibu berusaha mencegah diiringi derai airmatanya yang tak berkesudahan, tapi Mbak Ayu tetap bersikukuh pada keputusannya. Tanpa basa-basi lagi, segera kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah, diiringi airmata ibu yang terus mengalir tanpa henti.
*
    Dua bulan berlalu. Selama itu pula, aku tak pernah kembali ke rumah dan sama sekali tak mau tahu tentang ibu dan Mbak Ayu. Setiap hari kegiatanku hanya main-main, mabuk-mabukan dan bergelut dengan obat-obat terlarang itu bersama Toddy dan gengnya yang juga sudah dikeluarkan dari sekolah. Selama itu aku sangat menikmati saat-saat seorang Dimas yang liar, tak tahu aturan, dan jadi sangat badung. Tapi ternyata Allah masih ada untukku. Untukku yang telah berlumur dosa dan kesalahan ini.
*
    Suatu hari, saat aku dan Evils Gang sedang mabuk-mabukan, tiba-tiba datanglah sekelompok polisi yang menangkap kami. Rupanya polisi itu mendapat laporan dari masyarakat sekitar yang resah karena kelakuan kami. Toddy dan gengnya berhasil ditangkap, sedangkan aku bisa meloloskan diri. Aku terus berusaha melarikan diri dari kejaran pria berseragam coklat itu, tapi rupanya di  tengah jalan aku mendadak sakaw. Badanku menggigil dan tergeletak tiba-tiba. Tapi aku masih berusaha berjalan, meski tak tentu arah. Tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul pick up yang melaju dengan kecepatan sedang. Karena aku tak punya daya lagi untuk bangun, tak ayal aku tertabrak pick up itu, dan aku kehilangan kesadaran.............
    Ketika aku membuka mata, aku berada di sebuah kamar sederhana. Aku memandang sekeliling dengan heran. Sayup-sayup kudengar sebuah lagu mengalun tak jauh dariku.
♪Beribu dosa tlah terjadi mewarnai langkahku
Hitam diri hitamlah hari yang lalu
Bila tanpa cahayaMu gelap seluruh hidupku
Tak berdaya tak berarti sia-sia....
Buka mataku buka hatiku
Allah terangilah hidupku dengan sinarMu...♪

    Tanpa terasa, airmata membasahi pipiku. Aku merasa menjadi manusia yang sangat hina. Banyak dosa. Berlumur kesalahan...*



Bersambung...



*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

No comments:

Post a Comment