Andai kita bisa memilih. Sebuah kalimat retoris yang sangat imajinatif. Meski pada kenyataannya, tak semua hal bisa kita pilih. Seperti kelahiran, dimana kita dilahirkan, dari rahim siapa, dari keluarga seperti apa, dan dengan wujud/rupa seperti apa. Di kemudian waktu, tak sedikit dari kita yang membuat definisi-defisini. Saya miskin, saya jelek, saya rendah, saya ganteng, saya darah biru dan seterusnya. Dan kenyataannya, kita memang senang membuat sekat-sekat seperti itu.
Hal itu juga berlanjut dalam sosio-kultural kita. Dengan membuat sekat-sekat berdasarkan kelompok-kelompok ideologis, tingkat pendidikan, pangkat struktural dan lain sebagainya. Mereka yang keterpilihannya sebagai “orang bawah” merasa harus mengukur diri dengan “orang atas”. Dan “orang atas” merasa harus lebih disanjung dari “orang bawah”. Meski pada akhirnya, semua akan berpulang dalam kesadaran spiritual masing-masing. Dalam istilah jawa, nrimo ing pandum.
Padahal, dua definisi yang berlawanan itu kita buat karena ada pembanding. Misal ada atas berarti ada bawah. Ada jelek ada baik, ada kaya ada miskin, ada gaul ada cupu, ada hitam ada putih, dan seterusnya. Tidak ada orang baik, jika semuanya baik. Tidak ada pula orang kaya, jika semuanya kaya. Orang disebut “orang baik” karena di sisi yang lain ada orang yang dianggap “jelek”. Orang yang disebut kaya, karena disatu sisi ada orang miskin. Orang disebuat gaul, karena ada yang cupu. Dua istilah yang muncul karena ada pembanding.
Selain itu, kadang kita mengukur diri kita dengan orang lain. Utamanya, yang lebih tinggi. Misalkan, kita mengukur ketampanan atau kecantikan dengan para artis yang setiap hari berdandan itu. Kita mengukur “ketercukupan” hidup dengan mereka yang memiliki segalanya. Kita mengukur kehormatan berdasar pangkat struktural. Sesuatu yang kadang membuat kita lupa bahwa “aku” adalah “aku”, bukan “dia” atau “mereka”. Dan lupa bahwa sebenarnya kita sudah cukup untuk sekedar hidup dan berbagi. Perihal amanah berupa kekayaan dan jabatan, kita hanya bisa berikhtiar dan Tuhan lah yang akan memberikan jawabannya.
Di banyak kondisi, tak semua orang bisa dengan mudah menerima kehidupan. Ada sebagian yang mengutuki. Mengutuki keadaan dimana ia dilahirkan, dengan siapa, dan seperti apa. Akhirnya di beberapa kondisi, sikap tidak menerima itu berujung pada perilaku immoral : Pencurian, prostitusi, narkoba dan lain sebagainya. Seseorang yang tidak bisa menerima bahwa dia bukan “idaman pujaannya” bisa berujung pada bunuh diri dan pelarian-pelarian destruktif seperti narkotika hingga free seks.
Kemampuan menerika “aku” sebagai “aku” adalah hal sederhana yang kadang sulit dilakukan. Kadang kita selalu tak puas oleh apa yang kita miliki, terselip keluh dan gerutu terhadap keadaan yang kita sebuat sebagai sebuah takdir. Kemampuan menerima adalah kemampuan yang besar bagi mereka yang berjiwa besar.
Tuhan, ajari kami untuk menerima.
17 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat kata-kata
No comments:
Post a Comment