Sunday 10 August 2014

Berteman dengan tiga kucing

Oleh : A Fahrizal Aziz*

Saya terbiasa memberi makan tiga ekor kucing saya. Kucing yang tak direncanakan ada, kucing yang numpang di rumah lalu beranak-pinak. Mau mengusir tak tega juga. Akhirnya di pelihara. Untungnya, tiga ekor kucing itu lucu-lucu. Satu bewarna agak abu, satunya abu loreng, satunya putih campur kuning. Saking lulutnya, tiga kucing itu tak protes sama sekali kalau dipegang atau di gendong.

Lambat laun, saya merasa senang setiap kali memberinya makan. Mengamati mereka bertiga tidur meringkuk dan bertumpuk-tumpuk, lari-larian ketika dipanggil pus, dan menunjukkan wajah melas ketika saya tengah membawa sepiring ikan atau ayam goreng. Wajah memelas minta dibagi.

Saya kadang berfikir, jangan-jangan Tuhan sengaja menitipkan tiga ekor kucing ini agar saya jaga dan pelihara. Meski hanya kucing, mereka juga mahluk ciptaan Tuhan. Kadang secara sadar, ketika saya tengah makan ayam goreng, saya menyisakan separu daging untuk dibagi dengan tiga ekor kucing ini. Pernah juga saya khususkan berbelanja ikan laut di pasar hanya untuk membelikan makanan tiga ekor kucing ini. Mencampurkannya dengan nasi putih dan mereka bertiga akan dengan lahap menyantapnya.

Dengan saya, tiga ekor kucing ini begitu jinak. Dengan orang lain, bisa berbahaya. Kalau orang itu sengaja mengendongnya, kadang ia menggigit atau mencakar. Tapi dengan saya, tak sekali pun kuku tajamnya dikeluarkan. Aneh memang. Untuk itu, saya tak canggung lagi kalau mereka nakal, misalkan naik ke meja makan, atau garuk-garuk kursi, dengan lembut saya pukul kepalanya dan mereka hanya bilang “meongg..”

Tiga ekor kucing ini pula yang membuat saya merenung, bahwa manusia harus saling menyayangi antar sesama mahluk hidup. Tak boleh semena-mena atau merasa paling mulia. Meskipun manusia memang tercipta lebih sempurna dibandingkan hewan-hewan ini.

Sekarang, saya bukan hanya pemelihara kucing. Kucing-kucing itu tak lagi saya perlakukan seperti hewan peliharaan, melainkan sudah menjadi teman. Kadang saya berbicara dengan mereka, meskipun saya yakin mereka tak akan pernah paham kata-kata saya selain hanya bilang “meongg..”. Kadang saya gendong, kalau lagi duduk bersantai di beranda, kadang mereka duduk berjajar disamping saya.

Saya merasa senang sendiri melihatnya. Lucu juga melihat tiga kucing itu. Kucing yang datangnya tak dinanti, namun menetap dan menjadi teman berhari-hari. Kalau dengan kucing saja kita bisa berteman, apalagi dengan sesama manusia? Sekalipun ia berbeda etnis dan agama.

(*) Inisiator Bilik Kata

No comments:

Post a Comment