Wednesday, 20 August 2014
Ruang sunyi ditengah keramaian
Sebagian orang membutuhkan kesunyian untuk beberapa hal : Menyendiri, merenung, hingga mencari inspirasi. Kadang, tak semua kerasan berada ditengah keramaian. Ada yang merasa risih dan terhunus. Untuk bisa rileks, kadang lingkungan harus sesuai dengan “ketenangan” versi dirinya. Sejak mulai belajar fiksi, dan serius menulis novel, saya baru menyadari jika ruang keramaian, yang kadang tak nyaman, berisik, dan bising itu ternyata adalah sumber inspirasi yang unik.
Bagaimana tidak, ketika kuliah ke kota, hampir saya susah menemukan ruang kesunyian. Kecuali jika sudah masuk waktu malam, diatas jam 12. Ketika di kampus, suasana ramai, ketika di jalanan, ramai plus macet, ketika di kos, suasana berisik mirip perkampungan mahasiswa. Lantas, untuk bisa fokus menulis sesuatu, akankan kita pergi menyepi ke atas gunung atau ke tepian pantai?
Ruang keramaian, membuat kita “survive” dalam menulis. Terutama, bagi orang-orang seperti saya yang butuh menepi untuk menghasilkan satu karya tulis yang reflektif. Apalagi, ketika niat menulis, mulai dari menulis tugas majalah, novel, opini serius, hingga status di facebook. Saya semaksimal mungkin untuk merangkai kata-kata yang baik. Dan itu butuh menepi.
Di rumah, saya diuntungkan dengan lingkungan yang tenang. Jam 8 malam, aktivitas warga sudah lengang. Rata-rata sudah berada di dalam rumah masing-masing. Saya duduk diteras, sebelah barat rumah ada sungai kecil untuk pengairan sawah. Sungai itu menghasilkan suara gemericik yang khas. Suasana yang sejuk dan representatif itu, membuat saya kerasan berlama-lama untuk menulis.
Maka, jika terus ketergantungan dengan lingkungan. Mana mungkin saya bisa melanjutkan hobi menulis? Akhirnya, dengan sekuat tenaga, saya mampu menciptakan “ruang” sendiri. Ruang sunyi ditengah keramaian. Jujur, saya tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya. Karena itu mengalir saja. Misalkan, ketika melihat anak-anak kecil mengemis, jiwa saya seperti terdorong ke ruang sunyi yang membuat saya “mampu” menuliskannya. Padahal, sebelumnya fenomena seperti itu berlangsung biasa saja. Tak sempat berfikir untuk menuliskan, karena sudah riwuh dengan kemacetan, asap kenalpot, suara klakson yang bising dan sebagainya.
Keramaian, kadang harus kita nikmati sebagai sebuah sumber inspirasi. Bukan suatu masalah atau hal yang menjenuhkan. Kita harus berupaya menikmati “keramaian” seperti orang-orang yang sangat takut kesepian. Lingkungan, se ramai apapun, se kumuh apapun, hanyalah sebuah dimensi riil. Sementara ide, inspirasi, dan kekuatan imajinasi kita bersemayam dalam dimensi maya di dalam jiwa. Bukan lingkungan yang harus “menciptakan” kita tapi kitalah yang “menciptakan” lingkungan. Minimal, menciptakan ruang sendiri. Ruang sunyi ditengah keramaian.
Karena sunyi atau ramai kadang bukan soal hal-hal indrawiyah seperti suara bising yang kita dengar, banyaknya-sedikitnya manusia yang kita lihat, sesak pengapnya lingkungan yang kita rasakan. Tetapi sunyi dan ramai itu soal bagaimana kita merasakan dan memandang sesuatu. Banyak yang merasa kesepian, meski setiap hari ia berkunjung di pusat-pusat keramaian. Atau banyak yang hidupnya riuh dan ramai, sekalipun ia hanya berbalas sapa di jejaring sosial. Sementara di sekitarnya tak ada siapa-siapa.
Kita harus memulai menciptakan ruang itu.
20 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz
Labels:
Lensa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment