Saturday 16 August 2014

Di sebuah hari yang serba terbatas

Saya mendapatkan kabar bahwa ada kerabat yang meninggal. Meski tergolong kerabat jauh, namun kepergian orang yang saya sebut Pak Poh (Paman) itu begitu mengusik pikiran saya. Sebelum meninggal, Pak Poh sempat dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Kota Blitar selama beberapa hari. Ia terserang stroke. Pekerjaan yang keras, membuat tubuh tuanya tersungkur.

Ketika kami menjenguknya dulu, kondisinya sudah sangat parah. Tubuhnya susah digerakan, sudah nyaris lumpuh. Alat bantu pernafasan juga sudah terpasang. Hanya saja, Pak Poh tahu kalau kami tengah menjenguk. Meski tak mampu berjabat tangan, tak mampu mengucap salam, tapi sebuah isyarat dari airmatanya memberikan bahasa lain ; kerinduan dan kesedihan.

Setiap kali ada yang menjenguk Pak Poh, ia hanya bisa meneteskan airmata. Selain itu tak bisa. Tubuhnya sudah tak bisa lagi digerakkan. Pak Poh bisa hidup pun karena bantuan alat pernafasan dan infus. Makan pun sudah tak bisa. Semua serba terbatas. Keluarga sudah pasrah dan sepertinya, semua tinggal menunggu waktu.

Pak Poh, bekerja sebagai petani desa di salah satu pedalaman kabupaten Blitar. Nama dusunnya grontol. Jika hendak kesana, kita harus melalui jalan yang berkelok-kelok, naik turun dan sekitarnya tebing yang curam. Jika tak hati-hati, kita bisa terperosok ke dalamnya. Hal yang dulu nyaris dialami bapak saya pada malam hari, ketika ada oli yang tercecer dan membuat motor tergelincir. Untung saja, Allah masih memberikan keselamatan.

Pak Poh adalah anak dari saudara nenek. Itulah kenapa, saya menulisnya kerabat jauh. Terakhir kali, saya bertemu Pak Poh ketika lebaran, saya lupa lebaran kapan. Kalau tak salah, ketika saya baru masuk semester pertama perkuliahan. Saya tidak pernah membayangkan, jika pertemuan selanjutnya setelah itu, adalah pertemuan tanpa kata dan sapa.

Pak Poh, yang meski bertubuh kekar, namun akhirnya tumbang juga. Tubuh kekarnya bukan karena rajin fitnes, tapi karena beban pekerjaan yang berat disebuah desa yang tersuruk. Pak Poh telah memasuki masa dimana segala hal serba terbatas. Yang awalnya bisa berkata-kata dan bercerita, kini hanya diam. Yang awalnya bisa berjabat tangan, memeluk, dan merangkul. Kini hanya diam.

Segalanya serba terbatas. Satu hal yang hanya bisa ia lakukan : menitikkan air mata. Dan airmata itulah yang kemudian mengajarkan saya banyak hal. Siapapun itu, termasuk kita, akan berada pada masa dimana segala hal serba terbatas. Tubuh yang lambat laun beranjak tua nan ringkih, fikiran yang dimasa muda tajam dan kritis, pada saatnya akan tumpul dan pikun.

Saat itu pulalah, Tuhan meminta kembali diri kita. Satu hal yang saya khawatirkan, akankah di suatu hari yang serba terbatas itu, kita sudah mengajarkan banyak hal untuk kehidupan ini? Pak Poh telah mengajarkan saya sebuah perjuangan yang keras. Dan itulah yang akan selalu saya kenang.

Selamat jalan Pak Poh.

Blitar, 16 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat Kata-kata

No comments:

Post a Comment