“Oh, jadi lo ada problem? Tenang aja, Sob. Gue punya solusi buat lo biar masalah lo bisa beres!” ucapnya penuh misteri.
“Apaan solusinya?” tanyaku penuh harap. Toddy lagi-lagi terbahak-bahak.
“Eit, nggak semudah itu, man! Ada syaratnya!” tukasnya. Aku menghela napas.
“Apa?”
“Tapi lo harus janji bakal penuhin syarat ini! Kalau lo nggak bisa menuhin, gue juga nggak bisa kasih solusinya!”
“Ehm...oke...gue bakalan penuhi syarat lo!” jawabku yakin. Toddy pun langsung memberitahukan syaratnya, diantaranya harus selalu mematuhi perintah Toddy sebagai bos geng, termasuk perintah untuk bolos dan kumpul bareng di markas Evils Geng di gudang sekolah. Setelah itu, Toddy memberikanku seplastik kecil berisi beberapa butir pil merah muda.
“Apaan nih, Tod?” tanyaku heran.
“Itu solusi buat masalah lo! Cobain aja! Sekali coba, lo pasti tenang!” dia membujukku. Aku pun merasai pil merah muda itu. Dan sejak saat itulah hidupku makin berantakan.
Setiap kali pil merah muda yang bernama ekstasi itu habis, aku langsung mencari Toddy. Beberapa kali, Toddy memberi pil itu gratis untukku. Tapi lama-kelamaan ia mengharuskan aku membayar seratus ribu untuk satu bungkus kecil ekstasi. Sementara, dalam seminggu setidaknya aku membutuhkan dua plastik ekstasi. Maka aku harus membayar dua ratus ribu tiap minggu. Dan jika uang yang kupunya telah menipis, maka aku akan beralih profesi menjadi pencopet dadakan di bis atau angkutan umum.
Selain mulai menggunakan obat-obat terlarang, aku juga mulai senang minum-minuman keras. Tiap pulang sekolah, aku selalu ikut Toddy dan gengnya untuk pesta miras di gudang sekolah yang letaknya cukup jauh dari gedung sekolah.
*
Selama beberapa bulan, aku sukses menutupi tingkah lakuku dari ibu dan Mbak Ayu. Tapi rupanya, hari itu takdir berkata lain.......
Siang itu aku tak ada di rumah. Seperti biasa, aku pergi main dengan Toddy dan Gengnya. Setelah pulang, aku buru-buru menuju kamar. Namun aku kaget saat melihat pintu kamarku terbuka. Siapa yang bisa membukanya ya? Bukankah tadi aku sudah menguncinya? Dengan agak sempoyongan, aku masuk kamar. Dan alangkah kagetnya aku, saat mataku menangkap wajah pucat ibu yang bersimbah air mata sedang duduk di ranjangku, memandang nanar ke sekeliling kamarku yang berantakan.
“Ngapain Ibu di sini?!” seruku kesal. “Gimana bisa ibu masuk kamar Dimas?!” bentakku. Ibu berdiri, mendekatiku. Lalu dipandanginya aku yang sedang memelototinya. Diamatinya wajahku yang tirus, badanku yang makin ringkih dan kurus. Ibu tersedu.
“Apa yang kamu lakukan selama ini, Dimas?! Kenapa kamu menjadi seperti ini?! Apa yang kamu sembunyikan dari Ibu, Nak?!” tanyanya geram bercampur isak tangis. Aku membisu. Tertunduk. Lalu sedetik kemudian, aku kembali memelototi ibu.
“Itu bukan urusan Ibu! Dimas udah gede, Bu! Dimas bisa atur hidup Dimas sendiri! Ibu nggak usah ikut campur!” bentakku. Ibu terbelalak. Dia menatapku lekat-lekat, seolah meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat sekarang benar-benar aku.
“Masya Allah, Dimas...kenapa kamu berbuat seperti ini...kenapa kamu tega berbicara begitu pada Ibu.....dan....ini apa...Nak?” tanya ibu tersendat-sendat sambil menunjukkan plastik berisi obat terlarang itu padaku. Aku merebutnya.
“Ibu dapat dari mana obat ini?! Udahlah Bu! Ibu nggak usah ikut campur urusan Dimas! Biar Dimas atur hidup Dimas sendiri!” seruku.
“Ya Allah, Dimas...istighfar, Nak, sadar! Tinggalkan barang-barang haram itu, Nak...” ucap ibu sambil tetap terisak. Aku makin kesal.*
Bersambung...
*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi. - See more at: http://bilik-kata.blogspot.com/2014/08/maafkan-aku-ibu-part-1.html#sthash.fSAOCO0P.dpuf
*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi. - See more at: http://bilik-kata.blogspot.com/2014/08/maafkan-aku-ibu-part-1.html#sthash.fSAOCO0P.dpuf
*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi
No comments:
Post a Comment