Friday, 29 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 4)

  Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

 “Oh, kamu sudah sadar, Nak!” tiba-tiba kudengar suara seseorang. Kulihat ke sebelah kiriku, seorang kakek tersenyum padaku. Aku terbelalak kaget.
    “Saya....di....mana.....” ucapku lirih. Kakek itu duduk di kursi di samping ranjang.
    “Kamu di rumah saya. Tadi kamu tertabrak mobil saya. Badan kamu panas sekali. Wajahmu pucat, Nak. Sepertinya kamu terpengaruh obat-obatan terlarang...” jawab kakek itu. Aku tertunduk, kemudian tanpa diminta aku menceritakan semua yang menimpaku pada kakek itu.
    “Astaghfirullahaladzim…. Kenapa kamu berbuat seperti itu, Nak? Kesalahan ayahmu di masa lalu tak harus kamu balas dengan itu. Kelakuanmu itu malah membuat ibu dan kakakmu makin menderita. Oh ya, siapa namamu?”
    “Dimas, Kek… Kek, apakah tak ada kesempatan bagi saya untuk bertaubat?” tanyaku pelan.
    Kakek yang belum kutahu namanya itu tersenyum bijak. “Tentu saja ada, Dimas. Setiap orang punya kesempatan untuk bertaubat.” kata-kata kakek itu membuat senyum terlukis di wajahku.
    “Benarkah itu, Kek?” tanyaku meyakinkannya. Sang kakek mengangguk. Aku tersenyum, nyaris meneteskan airmata haru. “Alhamdulillah…..Allah masih memaafkan saya, Kek…”
    “Ya. Lebih baik sekarang kamu makan dulu. Nanti kalau kamu mau, saya akan mengajarimu shalat dan membaca Alquran…” ujar kakek. Wajahku berbinar.
    “Ya, Kek, saya mau! Terima kasih! Oh iya, nama Kakek siapa?”
    “Panggil saja Kakek Abu…” jawab sang kakek, lalu beranjak meninggalkanku.
    Sejak saat itu, aku tinggal di rumah Kakek Abu. Ternyata lelaki tua yang selalu berpeci putih ini adalah ustadz terkemuka di daerah itu. Setiap aku teringat akan obat-obat laknat itu dan ingin memakainya lagi, Kakek Abu selalu mengalihkan pikiranku dengan shalat dan membaca Alquran. Hingga sebulan kemudian, aku sudah fasih membaca Alquran dan menjadi jauh lebih baik.
    “Sekarang lebih baik kamu pulang ke rumah orangtuamu. Ibumu pasti rindu padamu, Dimas.” Kakek Abu berkata padaku saat kami sedang makan siang bersama.
    “Apa Kakek yakin kalau ibu dan kakak saya masih merindukan saya?” aku bertanya lirih. Terekam lagi di otakku, betapa jahatnya aku pada dua wanita yang sangat menyayangiku itu.
    “Semua orangtua itu menyayangi anaknya, Dimas. Segeralah pulang, dan minta maaf pada ibu dan kakakmu….”
    Setelah menimbang-nimbang dan memikirkan saran Kakek Abu, aku memutuskan pulang keesokan harinya. Sampai di depan rumahku yang bisa dibilang sederhana itu, aku terperanjat. Bendera kuning terlihat menggantung di batang pohon tak jauh dari rumahku. Siapa yang meninggal? Aku pun bergegas memasuki rumah yang sudah dijejali banyak orang.
    “Assalamualaikum….” ucapku pelan. Kontan semua orang menoleh padaku, termasuk wanita yang sedang bersimpuh di sisi jenazah. Tak kuduga, wanita itu adalah Mbak Ayu. Dia langsung menghampiriku.
    “Kamu?! Mau ngapain lagi kamu ke sini?! Bikin masalah lagi?! Belum puas kamu, sudah membuat ibu seperti ini?!” bentaknya bercampur isak tangis.
    “Mbak, maafin Dimas. Dimas udah menyadari semua kesalahan Dimas, Mbak. Mana ibu, Mbak? Ibu baik-baik saja kan?” tanyaku penasaran. Mbak Ayu tertawa getir.
    “Ibu? Baru sekarang kamu nanyain ibu?! Ke mana aja kamu selama ini, Dim?! Kenapa baru sekarang kamu menanyakan ibu?! Ha?!” tanyanya penuh amarah. Aku menghela napas. Berusaha menahan airmata yang sudah berebut ingin keluar.
    “Maafin…Dimas…Mbak….Selama ini…Dimas belajar agama…di rumah seorang ustadz…Dimas udah nggak makai lagi, Mbak….” jawabku tersendat. Mbak Ayu terdiam. Airmata makin membanjiri wajah cantiknya.
    “Itu ibu…….” Mbak Ayu menunjuk jenazah yang diselimuti kain batik. Aku ternganga, tak percaya pada apa yang kulihat.
    Apa??” ucapku tak percaya. Pelan-pelan kuikuti langkah Mbak Ayu memasuki rumah, lalu bersimpuh di hadapan……..jenazah ibu…….. Mbak Ayu membuka sebagian kain batik, dan terlihatlah wajah ibu yang tersenyum dalam tidur panjangnya. Tangisku pecah melihat wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku itu kini terbujur kaku.
    “Ibu…maafin Dimas, Bu…Maafin Dimas…..” kataku tersendat sambil menciumi wajah ibuku. Mbak Ayu pun menangis.
    Usai pemakaman ibu, Mbak Ayu bercerita bahwa setelah kepergianku kanker otak ibu bertambah parah. Beliau terus memikirkanku. Sebenarnya beliau ingin aku kembali lagi, dan Mbak Ayu pun sudah mencariku, tapi aku tetap tak ditemukan. Sampai akhirnya ibu meninggal setelah mendengar kabar bahwa ternyata dulu ayah terlilit hutang di bank, dan akibatnya, rumah kami disita. Untungnya, bank masih memberikan waktu bagi Mbak Ayu untuk tinggal di rumah itu, dan setelah kepengurusan jenazah ibu selesai, Mbak Ayu harus segera pindah dari rumah itu. Aku hanya bisa tertunduk diliputi penyesalan yang dalam saat mendengar ceritanya. Ya, seandainya saja dulu aku tak berbuat tindakan bodoh seperti itu, pasti semuanya takkan menjadi begini. Tapi Alhamdulillah, Allah masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri……

    Aku kaget saat terang datang tiba-tiba. “Horeeee….udah nyala! Ayo Ustadz Dimas, kita lanjutin lagi belajar ngajinya!” celoteh salah satu murid cilikku. Aku terdiam.
    “Lho, Ustadz, kenapa nangis?” tanya bocah berkerudung putih itu heran. Kuraba wajahku. Basah. Kupandang sekeliling. Sepuluh orang muridku nampak sedang menunggu jawabanku. Aku tersenyum.
    “Nggak apa-apa. Ustadz hanya teringat ibunda Ustadz…” jawabku. Kutatap lagi foto dalam dekapanku yang kini tampak lebih jelas. Aku tersenyum pada foto itu.
    “Sudah, sudah…ayo Ustadz, kita belajar ngaji lagi…” aku menoleh pada sang pemilik suara di sebelahku. Kuanggukkan kepala padanya.
    “Baik Ustadzah Ayu….” tukasku. Sementara dari balik pintu, Kakek Abu memandangi kami dengan bahagia.
    “Ya Allah, terima kasih telah menuntun Dimas untuk mendapatkan hidayah-Mu…”
*
TAMAT




*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

No comments:

Post a Comment