Tuesday, 19 August 2014
Hanya kata, Hanya kita
Saya pernah berbincang dengan seorang penyair. Hanya saja, di lingkungannya sendiri, ia lebih dikenal sebagai pedagang yang kemudian menjadi pengusaha. Yang mengenalnya sebagai penyair hanya komunitas sastra tempatnya berada. Kenapa? Karena tidak semua orang tahu kalau sesungguhnya dia suka menulis puisi, membuat sajak dan kata-kata. Selain itu, ia juga tak mungkin menyebut dirinya sebagai “penyair”. Panggilan itu harus disematkan oleh orang lain yang sudah membaca karya sastranya.
Sebagaimana penyair lainnya, filosofi hidupnya memang dalam. Ia menceritakan kisah asmaranya, ketika ia hendak melamar sang pacar. Ketika itu, calon mertuanya bertanya. Dengan apa kamu menafkahi anakku? Ia hanya menjawab : dengan kata-kata. Jawaban itu, hampir saja membuat ayah sang pacar murka dan tak berniat merestui hubungan mereka.
Hal itu pula yang membuat pacarnya kecewa. Pacar dan mertuanya mungkin belum tahu kalau ia sudah mulai berdagang. Ia juga mengelola toko kelontong milik keluarga yang sudah hampir dua tahun ia kelola sendiri. Jangankan untuk membeli beras, membeli motor pun bisa. Lantas, kenapa ia harus bilang akan hendak menafkahi dengan kata-kata? orang tua mana yang tega anak perempuannya hidup menderita? Sekalipun dengan lelaki yang ia cintai.
Penyair itu bercerita, bahwa aktivitas berdagangnya selama ini hanya untuk membiayai hobinya yang suka membuat syair. Setiap bulan sekali ia langganan majalah sastra, setiap minggu ia hunting buku sastra keluaran terbaru di toko buku. Jika ada agenda seminar, workshop, konser, teater, dan sebagainya, ia dengan rela mengikuti meski berbayar mahal. Jadi, sebelum ia menikah, kerja kerasnya mencari uang itu hanya untuk memuluskan hobi dan kegemarannya.
Penyair itu juga tak ingin menunjukkan kemapanan hidup di depan pacar dan calon mertuanya. Apakah dengan ini calon mertuanya itu tak merestui dan apakah gadis itu akan meninggalkannya, ia tak peduli. Karena baginya, cinta sejati bukan tercipta dari kemapanan, tapi dari perjuangan. Ia tak ingin terlihat mapan di depan sang perempuan dan calon mertuanya. Meskipun dalam sebulan, ia bisa mendapatkan penghasilan bersih lebih dari 2 juta. Tahun itu, uang 2 juta masih punya taji, itu sekitar tahun 1987.
Ternyata, sang pacar tak menjauhinya, dan tetap gigih meyakinkan ayahnya bahwa ia adalah calon suami yang cocok. Sampai akhirnya sang Ayah luluh dan hubungan mereka berdua direstui. Pacar yang kini jadi istrinya itu, tertarik dengan penyair itu karena membaca puisi-puisi yang telah ia buat.
Istrinya itu tertarik hanya dengan kata-kata yang akhirnya menyatukan mereka berdua. Penyair itu juga menjelaskan, andaikan saya tak hobi membuat syair, hobi membeli majalah dan buku, hobi nonton teater, ikut pekan budaya dan lain-lain, mungkin ia tak terdorong untuk mengumpulkan uang dengan berwirausaha. Semua itu ia lakukan untuk memenuhi hobi. Maka, ketika ada pertanyaan. Mau kamu nafkahi anakku dengan apa? Jawabnya dengan “kata-kata” itu sebenarnya bukan ngawur. Tapi memang “kata-kata” itulah yang menguatkan hidupnya.
Kini, ia tekun dengan bisnisnya dan tekun dengan hobinya. Jika puisi atau sajaknya dimuat di media, ia tak lagi mengambil honornya, melainkan memberikan ke lembaga sosial atau lembaga infaq. Karena ia berujar, bahwa sumber dari tulisannya itu adalah kehidupan masyarakat dan harus dikembalikan ke masyarakat. Ia pun juga mulai membuat buku kumpulan puisi dan ia cetak menjadi buku sendiri. Lalu ia bagikan ke teman-teman atau sanak kerabatnya.
Hanya kata, dan hanya kita.. itulah kalimat yang diucapkannya untuk meminang sang gadis. Oh, indah sekali.
A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat kata-kata
Labels:
Lensa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment