Saturday, 2 August 2014

Dendam yang terbalaskan “yang lain”

Oleh : A Fahrizal Aziz*

Teman satu desa, yang kuliah di kota yang berbeda dengan saya, mengirimkan sebuah inbox di facebook. Dia baru saja pulang kampung dan mengamati keadaan kampung. Dia menceritakan satu hal. Katanya, anak orang kaya yang dulu sering menghina kita kini nasibnya tragis. Keluarganya bercerai, hidupnya kini tak karuan. Saya memutar ulang memori. Siapa ya? Pikir saya. Dan saya temukan satu nama. Ternyata cocok. Ya dialah orangnya.

Sejarahnya, dulu kami sering dihina-hina ketika masih SD. Kebetulan, ada tiga SD. Dia sekolah di SD yang paling bonafit dan kami sekolah di SD yang paling miskin. Setiap pulang sekolah, kami jalan kaki dan dia dijemput oleh becak langganan, kadang dijemput orang tuanya. Setiap melewati rumahnya yang berpagar besi tinggi itu, kami selalu diberi kejutan olehnya : kalau tak disemprot air kran, dilempari petasan, atau ditembak dengan pistol air.

Tak jarang seragam kami –yang satu-satunya—itu basah kuyup beserta buku-buku pelajaran. Dan di rumah, kami masih harus dimarahi oleh orang tua karena seragam dan buku yang basah. Kadang kala, untuk menghindari serangan dari anak orang kaya itu, kami lewat jalan belakang yang melewati pematang sawah. Tapi kami harus berjalan lebih jauh dari rute normal. Rute normalnya hanya 3 kilometer. Kalau lewat sawah, kira-kira bisa sampai 5 kilometer plus melalui semak belukar.

Tidak hanya “kejutan” yang sering mendera kami, tapi dia juga sering mengolok-olok, menghina, bahkan mencaci maki sekolah kami. Entah ketika berpas-pasan dijalan atau ketika tengah “menghajar” kami. Orang tua kami, meski tahu, tak berani berbuat banyak. Alasannya karena mereka orang kaya. Dan kami, hampir selama enam tahun meratapi diri sebagai orang yang “teraniaya”.

Bahkan, teman saya pernah menyarankan agar suatu kelak ngajak berantem dengan anak orang kaya itu. Meskipun kondisi kami kurus kering dan dia gemuk besar. Tetap saja kalah kalau untuk ukuran normal. Akhirnya kami memilih diam selama bertahun-tahun. Dan lambat laun, ketika SMP dan SMA saya sekolah ke kota. Didera aktifitas yang padat. Saya lupa semua itu.

Ketika mendengar hal itu, ada rasa puas tersendiri. Itu mungkin karma. Sisi emosi saya berbicara. Tapi dilain hal, saya sadar. Untuk apa saya terus menyimpan kebencian yang telah berlangsung bertahun-tahun lalu? karena saya tahu kalau kami waktu itu masih SD. Masih kanak-kanak. Tentu fikiran masih belum dewasa. Tetapi yang lucu, kejadian itu dilihat oleh orang tua mereka dan justru orang tua tak menegurnya sama sekali. Itulah yang mungkin saja, membuat “dendam” itu masih mengendap.

Meski kami tak pernah berencana untuk membalas dendam, dan saya sendiri bahkan sudah melupakannya. Kadang melihat apa yang kini dialami anak itu (yang kini hidupnya tak karuan itu) semisal dendam yang terbalaskan “yang lain”. Kami merasa ada tangan dan kekuatan lain yang membalaskan dendam kami ke anak orang kaya yang semena-mena itu. Kini, mereka terjungkal dari kekayaannya. Secara normal, seharusnya kita bisa “membalas” perlakuannya dulu. Tapi untuk apa? Pikir saya.

Saya sudah menutup buku dendam itu dan fokus pada apa yang akan saya lakukan sekarang ini. Bahkan, kalau tak diceritai teman saya itu, mungkin saya tak akan mengingatnya. Sudahlah, justru saya berterima kasih dengan perlakuannya dulu kepada saya. Karena dengan itu, saya merasakan bagaimana sakitnya dihina dan direndahkan.

Dan saya tak ingin melakukan itu kepada orang lain. Menyimpan dendam itu tak baik. Sekecil apapun kadarnya.

(*) Inisiator Bilik Kata

No comments:

Post a Comment