Friday, 29 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 4)

  Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

 “Oh, kamu sudah sadar, Nak!” tiba-tiba kudengar suara seseorang. Kulihat ke sebelah kiriku, seorang kakek tersenyum padaku. Aku terbelalak kaget.
    “Saya....di....mana.....” ucapku lirih. Kakek itu duduk di kursi di samping ranjang.
    “Kamu di rumah saya. Tadi kamu tertabrak mobil saya. Badan kamu panas sekali. Wajahmu pucat, Nak. Sepertinya kamu terpengaruh obat-obatan terlarang...” jawab kakek itu. Aku tertunduk, kemudian tanpa diminta aku menceritakan semua yang menimpaku pada kakek itu.
    “Astaghfirullahaladzim…. Kenapa kamu berbuat seperti itu, Nak? Kesalahan ayahmu di masa lalu tak harus kamu balas dengan itu. Kelakuanmu itu malah membuat ibu dan kakakmu makin menderita. Oh ya, siapa namamu?”
    “Dimas, Kek… Kek, apakah tak ada kesempatan bagi saya untuk bertaubat?” tanyaku pelan.
    Kakek yang belum kutahu namanya itu tersenyum bijak. “Tentu saja ada, Dimas. Setiap orang punya kesempatan untuk bertaubat.” kata-kata kakek itu membuat senyum terlukis di wajahku.
    “Benarkah itu, Kek?” tanyaku meyakinkannya. Sang kakek mengangguk. Aku tersenyum, nyaris meneteskan airmata haru. “Alhamdulillah…..Allah masih memaafkan saya, Kek…”
    “Ya. Lebih baik sekarang kamu makan dulu. Nanti kalau kamu mau, saya akan mengajarimu shalat dan membaca Alquran…” ujar kakek. Wajahku berbinar.
    “Ya, Kek, saya mau! Terima kasih! Oh iya, nama Kakek siapa?”
    “Panggil saja Kakek Abu…” jawab sang kakek, lalu beranjak meninggalkanku.
    Sejak saat itu, aku tinggal di rumah Kakek Abu. Ternyata lelaki tua yang selalu berpeci putih ini adalah ustadz terkemuka di daerah itu. Setiap aku teringat akan obat-obat laknat itu dan ingin memakainya lagi, Kakek Abu selalu mengalihkan pikiranku dengan shalat dan membaca Alquran. Hingga sebulan kemudian, aku sudah fasih membaca Alquran dan menjadi jauh lebih baik.
    “Sekarang lebih baik kamu pulang ke rumah orangtuamu. Ibumu pasti rindu padamu, Dimas.” Kakek Abu berkata padaku saat kami sedang makan siang bersama.
    “Apa Kakek yakin kalau ibu dan kakak saya masih merindukan saya?” aku bertanya lirih. Terekam lagi di otakku, betapa jahatnya aku pada dua wanita yang sangat menyayangiku itu.
    “Semua orangtua itu menyayangi anaknya, Dimas. Segeralah pulang, dan minta maaf pada ibu dan kakakmu….”
    Setelah menimbang-nimbang dan memikirkan saran Kakek Abu, aku memutuskan pulang keesokan harinya. Sampai di depan rumahku yang bisa dibilang sederhana itu, aku terperanjat. Bendera kuning terlihat menggantung di batang pohon tak jauh dari rumahku. Siapa yang meninggal? Aku pun bergegas memasuki rumah yang sudah dijejali banyak orang.
    “Assalamualaikum….” ucapku pelan. Kontan semua orang menoleh padaku, termasuk wanita yang sedang bersimpuh di sisi jenazah. Tak kuduga, wanita itu adalah Mbak Ayu. Dia langsung menghampiriku.
    “Kamu?! Mau ngapain lagi kamu ke sini?! Bikin masalah lagi?! Belum puas kamu, sudah membuat ibu seperti ini?!” bentaknya bercampur isak tangis.
    “Mbak, maafin Dimas. Dimas udah menyadari semua kesalahan Dimas, Mbak. Mana ibu, Mbak? Ibu baik-baik saja kan?” tanyaku penasaran. Mbak Ayu tertawa getir.
    “Ibu? Baru sekarang kamu nanyain ibu?! Ke mana aja kamu selama ini, Dim?! Kenapa baru sekarang kamu menanyakan ibu?! Ha?!” tanyanya penuh amarah. Aku menghela napas. Berusaha menahan airmata yang sudah berebut ingin keluar.
    “Maafin…Dimas…Mbak….Selama ini…Dimas belajar agama…di rumah seorang ustadz…Dimas udah nggak makai lagi, Mbak….” jawabku tersendat. Mbak Ayu terdiam. Airmata makin membanjiri wajah cantiknya.
    “Itu ibu…….” Mbak Ayu menunjuk jenazah yang diselimuti kain batik. Aku ternganga, tak percaya pada apa yang kulihat.
    Apa??” ucapku tak percaya. Pelan-pelan kuikuti langkah Mbak Ayu memasuki rumah, lalu bersimpuh di hadapan……..jenazah ibu…….. Mbak Ayu membuka sebagian kain batik, dan terlihatlah wajah ibu yang tersenyum dalam tidur panjangnya. Tangisku pecah melihat wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku itu kini terbujur kaku.
    “Ibu…maafin Dimas, Bu…Maafin Dimas…..” kataku tersendat sambil menciumi wajah ibuku. Mbak Ayu pun menangis.
    Usai pemakaman ibu, Mbak Ayu bercerita bahwa setelah kepergianku kanker otak ibu bertambah parah. Beliau terus memikirkanku. Sebenarnya beliau ingin aku kembali lagi, dan Mbak Ayu pun sudah mencariku, tapi aku tetap tak ditemukan. Sampai akhirnya ibu meninggal setelah mendengar kabar bahwa ternyata dulu ayah terlilit hutang di bank, dan akibatnya, rumah kami disita. Untungnya, bank masih memberikan waktu bagi Mbak Ayu untuk tinggal di rumah itu, dan setelah kepengurusan jenazah ibu selesai, Mbak Ayu harus segera pindah dari rumah itu. Aku hanya bisa tertunduk diliputi penyesalan yang dalam saat mendengar ceritanya. Ya, seandainya saja dulu aku tak berbuat tindakan bodoh seperti itu, pasti semuanya takkan menjadi begini. Tapi Alhamdulillah, Allah masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri……

    Aku kaget saat terang datang tiba-tiba. “Horeeee….udah nyala! Ayo Ustadz Dimas, kita lanjutin lagi belajar ngajinya!” celoteh salah satu murid cilikku. Aku terdiam.
    “Lho, Ustadz, kenapa nangis?” tanya bocah berkerudung putih itu heran. Kuraba wajahku. Basah. Kupandang sekeliling. Sepuluh orang muridku nampak sedang menunggu jawabanku. Aku tersenyum.
    “Nggak apa-apa. Ustadz hanya teringat ibunda Ustadz…” jawabku. Kutatap lagi foto dalam dekapanku yang kini tampak lebih jelas. Aku tersenyum pada foto itu.
    “Sudah, sudah…ayo Ustadz, kita belajar ngaji lagi…” aku menoleh pada sang pemilik suara di sebelahku. Kuanggukkan kepala padanya.
    “Baik Ustadzah Ayu….” tukasku. Sementara dari balik pintu, Kakek Abu memandangi kami dengan bahagia.
    “Ya Allah, terima kasih telah menuntun Dimas untuk mendapatkan hidayah-Mu…”
*
TAMAT




*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Sunday, 24 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 3)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

   “Udahlah, Ibu diem aja! Nggak usah sok-sok nasihatin Dimas!! Ibu keluar! Keluar dari kamar Dimas! Jangan ganggu Dimas, Bu!” bentakku sambil mendorong tubuh ibu keluar dari kamarku. Karena keadaan ibu yang sudah sangat lemah, ibu pun jatuh. Kepalanya terbentur lantai. Tapi ibu bisa berdiri lagi meski agak sempoyongan.
    “Dimas....kamu...keterlaluan....” ucap ibu tersendat. Aku tak peduli. Bersamaan dengan itu, Mbak Ayu datang.
    “Assalamualaikum! Ibu?!”  dia masuk dan mencari ibu. Sampai di depan kamarku, ia terkejut melihatku dan ibu sedang bersitegang.
    “Ya Allah, Ibu, ada apa?! Ibu kenapa, Bu?” tanya Mbak Ayu cemas. Tiba-tiba ia mengarahkan pandangan padaku.
    “Oh, kamu masih inget rumah juga ternyata!” katanya sinis. Aku memelototinya.
    “Mbak nggak usah banyak ngomong!” tukasku. Mbak Ayu memandangku marah.
    “Oh, jadi kamu udah berani ngelawan ibu dan aku?! Aku sangat menyesal punya adik seperti kamu! Mengecewakan!” bentaknya. Ibu langsung menengahi.
    “Ayu, sudah, jangan ngomong begitu sama adikmu!” Mbak Ayu ganti menatap ibu.
    “Bu, dia itu sudah keterlaluan! Tadi Ayu dapet surat pemberitahuan dari sekolahnya, bahwa anak ini dikeluarkan dari sekolah karena mengonsumsi narkoba dan minuman keras, dan dia juga sudah jadi pencuri Bu! Aku menyesal punya adik seperti dia!” seru Mbak Ayu. Ibu membelalak.
    “Apa?!” seru ibu. Aku pun kaget, tapi aku sudah tak peduli lagi.
    “Biar aja! Biarin Dimas dikeluarin dari sekolah! Dimas udah muak sekolah! Dimas udah muak sama kalian!” bentakku sambil menuding ibu dan Mbak Ayu. Obat-obat terlarang dan minuman keras itu berhasil mengubahku jadi Dimas yang kejam. Mbak Ayu makin marah mendengarnya, sementara ibu makin larut dalam tangisnya.
    “Oh, baiklah kalau begitu! Berarti Mbak nggak perlu susah-susah nasihatin kamu lagi! Pergi kamu dari sini! PERGI! Dasar anak nggak tahu terima kasih!” Mbak Ayu mengusirku. Ibu berusaha mencegah diiringi derai airmatanya yang tak berkesudahan, tapi Mbak Ayu tetap bersikukuh pada keputusannya. Tanpa basa-basi lagi, segera kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah, diiringi airmata ibu yang terus mengalir tanpa henti.
*
    Dua bulan berlalu. Selama itu pula, aku tak pernah kembali ke rumah dan sama sekali tak mau tahu tentang ibu dan Mbak Ayu. Setiap hari kegiatanku hanya main-main, mabuk-mabukan dan bergelut dengan obat-obat terlarang itu bersama Toddy dan gengnya yang juga sudah dikeluarkan dari sekolah. Selama itu aku sangat menikmati saat-saat seorang Dimas yang liar, tak tahu aturan, dan jadi sangat badung. Tapi ternyata Allah masih ada untukku. Untukku yang telah berlumur dosa dan kesalahan ini.
*
    Suatu hari, saat aku dan Evils Gang sedang mabuk-mabukan, tiba-tiba datanglah sekelompok polisi yang menangkap kami. Rupanya polisi itu mendapat laporan dari masyarakat sekitar yang resah karena kelakuan kami. Toddy dan gengnya berhasil ditangkap, sedangkan aku bisa meloloskan diri. Aku terus berusaha melarikan diri dari kejaran pria berseragam coklat itu, tapi rupanya di  tengah jalan aku mendadak sakaw. Badanku menggigil dan tergeletak tiba-tiba. Tapi aku masih berusaha berjalan, meski tak tentu arah. Tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul pick up yang melaju dengan kecepatan sedang. Karena aku tak punya daya lagi untuk bangun, tak ayal aku tertabrak pick up itu, dan aku kehilangan kesadaran.............
    Ketika aku membuka mata, aku berada di sebuah kamar sederhana. Aku memandang sekeliling dengan heran. Sayup-sayup kudengar sebuah lagu mengalun tak jauh dariku.
♪Beribu dosa tlah terjadi mewarnai langkahku
Hitam diri hitamlah hari yang lalu
Bila tanpa cahayaMu gelap seluruh hidupku
Tak berdaya tak berarti sia-sia....
Buka mataku buka hatiku
Allah terangilah hidupku dengan sinarMu...♪

    Tanpa terasa, airmata membasahi pipiku. Aku merasa menjadi manusia yang sangat hina. Banyak dosa. Berlumur kesalahan...*



Bersambung...



*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Friday, 22 August 2014

Cita-cita Eichiro Oda


(Bilik-Kata) Apakah anda tahu siapa Eiichiro Oda atau yang akrab disapa Odachii? Dari namanya, kita tahu bahwa sosok satu ini adalah orang jepang. Meskipun namanya kadang tak lebih populer dibandingkan dengan buah karyanya. Odachi adalah salah satu mangaka Jepang yang saya terkenal di Jepang, bahkan manga ciptaannya menjadi salah satu manga paling populer di negara Indonesia. kalau begitu, ayo mengenal lebih dekat siapa sosok Eiichiro Oda.

Odachii adalah pencipta karakter mangan one peace, salah satu manga paling digandrungi di Indonesia. Manga yang kemudian diangkat menjadi film kartun, yang bercerita tentang bajak laut ini, mengangkat nama Luffy sebagai tokoh utama. Sebelum menciptakan Manga One Peace, Odachii telah membuat manga-manga lain yang juga mendapatkan tempat tersendiri di hati publik.

Sejak masih berusia 4 tahun, Odachii sudah bercita-cita untuk menjadi mangaka profesional. Kegemarannya menggambar tak membuat lelaki kelahiran Kumamoto 1 Januari 1975 ini berfikir profesi lain. Sebagai anak kecil, alasannya sangat sederhana, dengan menjadi mangaka, ia tak perlu pergi ke kantor seperti kebanyakan orang dewasa.

Kegigihan Odachii terhadap cita-citanya membuatnya untuk terus belajar. Sebelum menjadi mangaka profesional. Ia pernah belajar dengan salah satu mangaka senior, Watsuki Nobuhiro yang tak lain adalah pencipta manga Rurouni Kenshin. Ia juga fans berat Akira Toriyama, yang tak lain adalah pengarang manga populer Dragon Ball. Menurut Odachii, Akira Toriyama sensei adalah mangaka terbaik yang pernah ia temui.

Kini, Odachii telah menjadi mangaka yang sangat terkenal di dunia. Bersanding dengan Aoyama Gosho pengarang Detective Conan dan Masashi Kishimoto pengarang Naruto. Nah, jika kalian punya cita-cita, terus berusaha untuk meraihnya ya. (Ima)

Mereka Adalah KITA !!! Lantas Salah dan Tanggung Jawab Siapa??

Banyak bagian dari kehidupan yang sering kita anggap ada bagian yang terpenting dan yang tak penting, ada yang kita lihat dan dikagumi dan ada yang kita benci. Itulah Kehidupan anak jalanan. Dari Sabang sampai Merauke hingga pelosok nusantara, tentu kita sering melihat yang namanya anak jalanan usia-usia 6-10 tahun. Mereka hadir didepan mata kita, di berbagai tempat baik terminal bus, jembatan, perempatan jalan dsb. mereka datang bermodal alat-alat yg bisa menghasilkan bunyi,(musik), dengan pakaian dan tubuh yang kucel dan kusam dan ada yang datang hanya bermodal dengan kedua tangan. semua itu hanya karena UANG yang digunakannya hanya untuk makan dan minum agar bisa bertahan hidup.Banyak masyarakat yang tak mengaharapkan kehadirannya, dan itupun juga buka jalan mereka yang ia pilih, banyak sebab dan faktor kedatangan mereka. Ditnggal orang tua, dipekerjakan dan diekploitasi oleh para preman, bahkan orang tua mereka sendiri, dan ada pula yg berasal tanpa tau asal usulnya.

Ketika saya pergi melakukan perjalanan keluar kota di berbagai kota di tanah jawa sering dijumpai anak-anak jalan beragam usia mulai dari 6-20th. mereka hadir di bus-bus kota, perempatan jalan dan terminal. banyak yang menghiraukan mereka ketika meminta recehan-recehan dari sebagian rezeki kita, ada yang memberi ada pula yang tidak memberi dikarenakan tidak suka atas kehadirannya maupun perilakunya dsb. mereka ngamen ternya ada preman dibelakangnya yang menyuruh mereka, ada orang tua mereka sendiri yang menyuruhnya. banyak sekali alasan mereka meminta-minta hanya agr diberi recehan uang. ketika melihat itu semua jujur sedih sekali melihat mereka, rasanya ingin mengambil merka merawat, dan mendidik mereka, tapi apa daya itulah yang menjadi mimpi saya.( ketika kelak saya akan kaya hehe)mereka itu merupakan bagian dari bangsa besar yaitu bangsa indonesia mereka tidak mendapatkan hak-hak meeka sebagai anak, yang harusnya mendapat kasih sayang dari orang tua, dari kita bahkan dari pemerintahpun wajib turut memperhatikan mereka tidak bisa menikmati masa-masa muda seperti anak sesusia-usia mereka yaitu mengenyam pendidikan, bermain dan belajar. 

dalam menyikapi tersebut memang pemerintah tak bisa 100% untuk disalahkan tetapi harus mempunya problem solving yang tepat untuk mengatasi mereka, generasi-generasi muda bangsa, merekalah bibit sdm indonesia yang berkualitas dan unggul jika kita perhatikan. UUD 45 pun dalam pasalnya 34 menyatakan fakir miskin dan ANAK TERLANTAR dipelihara oleh negara. tetapi apa yang terjadi? faktnya mereka tak diperhatikan. banyak yang sudah mengkalim memperhatikan mereka, mereka di tangkap oleh satpol2 pp didata dan dibina tetapi kenyataannya mereka tetap ada dengan dalih mereka ingin kembali dan tidak mau diataur. jika mereka di perlakukan selayaknya manusia tentu mereka tidak akan kembali ke jalan-jalan. dari situ sebagain dari mereka ada lembaga-lembaga tertentulah yang tergerak mengurusi mereka dengan biaya yang terbatas. dengan tergeraknya individu,lembaga-lembaga yang mengurusi anak-anak jalanan. pemerintah seakan-akan sangat senang mereka tak mengeluarkan biaya-biaya besar untuk mengurusi mereka (dikorupsi aja uangnya). terkadang mereka berdalih dengan mengatasnamakn agama. 

Jika kita semua dan pemerintah sadar akan betul cita-cita kemerdekaan bangsa yang tertulis semuanya dalam UUD 45 harusnya pemerintah akan secara tegas memaksa mereka dengan memperhatikan hak-hak mereka, menghidupinya secara layak menjadikan mereka generasi-genarsi unggul penerus bangsa . ingat Mereka adalah sama dan MEREKA ADALAH KITA!!!

Thursday, 21 August 2014

Siapa pengarang detective Conan?




Bilik-Kata – Sejak di filmkan, komik detective Conan menjadi sangat terkenal. Bahkan, di beberapa negara, kartun yang diciptakan oleh komikus jepang ini memiliki penggemar setia. Salah satunya di negara kita Indonesia. Namun tak banyak yang tahu siapa pengarang dari komik ini. Untuk itu, Bilik Kata mengaja kamu untuk berkenalan dengan pengarang tokoh Conan Edogawa ini. simak, yuk.

Dicetective Conan dikarang oleh Aoyama Gosho, pria asli Jepang kelahiran Hokuei pada 21 juni 1963. Sebelum membuat detective Conan yang akhirnya menjadi master piece, Aoyama sudah banyak mengarang komik-komik lainnya yang diterbitkan oleh majalah jepang atau diikutkan dalam sebuah kontes tertentu. Berikut adalah karya Aoyama yang lain.

Komik pertama yang dibuat Aoyama berjudul Cotto Matte, dikarang pada tahun 1987. Selanjutnya, ia mengarang Yaiba pada tahun 1988-1993. Pada tahun yang sama, ia juga mengarang Yonban Sando. Komik lainnya yang cukup terkenal adalah Magic Kaito yang dikarang selama tahun 1988-2007. Tahun 2004, barulah ia mengarang detective Conan hingga saat ini.

Keahlian menggambar Aoyama sudah terlihat sejak masih duduk di kelas 1 SD, kala itu ia pernah menggambar perang Yukiai dan memenangkan kontes menggambar. Hasil karyanya itu kemudian di pajang di Tottori daimaru departement store. Aoyama merupakan alumnus jurusan seni Nihon University Tokyo. Ketika duduk di tingkat pertama, Aoyama pernah mengikuti kontes membuat komik dan itulah yang menjad jankar karirnya hingga saat ini.

Dalam perjalanan karirnya, Aoyama Gosho telah banyak mendapatkan penghargaan. Misalkan, ia berhasil mendapatkan Shogakukan manga award dari Shonen untuk seri manga Yaiba. Penghargaan yang sama juga didapat untuk manga detective Conan. Karena prestasinya itulah, pemerintah kota tempat kelahirannya, memberikan sebuah apresiasi dengan menamai jembatan yang melintasi sungai Yura dengan nama Jembatan Conan. Disekitarnya, juga dibangun patung-patung Conan Edogawa.

Nah, itu dia sekilas tentang Aoyama Gosho. Pengarang komik legendaris detective Conan. (Ima)

Wednesday, 20 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 2)

Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*

  
“Oh, jadi lo ada problem? Tenang aja, Sob. Gue punya solusi buat lo biar masalah lo bisa beres!” ucapnya penuh misteri.
    “Apaan solusinya?” tanyaku penuh harap. Toddy lagi-lagi terbahak-bahak.
    “Eit, nggak semudah itu, man! Ada syaratnya!” tukasnya. Aku menghela napas.
    “Apa?”
    “Tapi lo harus janji bakal penuhin syarat ini! Kalau lo nggak bisa menuhin, gue juga nggak bisa kasih solusinya!”
    “Ehm...oke...gue bakalan penuhi syarat lo!” jawabku yakin. Toddy pun langsung memberitahukan syaratnya, diantaranya harus selalu mematuhi perintah Toddy sebagai bos geng, termasuk perintah untuk bolos dan kumpul bareng di markas Evils Geng di gudang sekolah. Setelah itu, Toddy memberikanku seplastik kecil berisi beberapa butir pil merah muda.
    “Apaan nih, Tod?” tanyaku heran.
    “Itu solusi buat masalah lo! Cobain aja! Sekali coba, lo pasti tenang!” dia membujukku. Aku pun merasai pil merah muda itu. Dan sejak saat itulah hidupku makin berantakan.
    Setiap kali pil merah muda yang bernama ekstasi itu habis, aku langsung mencari Toddy. Beberapa kali, Toddy memberi pil itu gratis untukku. Tapi lama-kelamaan ia mengharuskan aku membayar seratus ribu untuk satu bungkus kecil ekstasi. Sementara, dalam seminggu setidaknya aku membutuhkan dua plastik ekstasi. Maka aku harus membayar dua ratus ribu tiap minggu. Dan jika uang yang kupunya telah menipis, maka aku akan beralih profesi menjadi pencopet dadakan di bis atau angkutan umum.
    Selain mulai menggunakan obat-obat terlarang, aku juga mulai senang minum-minuman keras. Tiap pulang sekolah, aku selalu ikut Toddy dan gengnya untuk pesta miras di gudang sekolah yang letaknya cukup jauh dari gedung sekolah.
*
     Selama beberapa bulan, aku sukses menutupi tingkah lakuku dari ibu dan Mbak Ayu. Tapi rupanya, hari itu takdir berkata lain.......
    Siang itu aku tak ada di rumah. Seperti biasa, aku pergi main dengan Toddy dan Gengnya. Setelah pulang, aku buru-buru menuju kamar. Namun aku kaget saat melihat  pintu kamarku terbuka. Siapa yang bisa membukanya ya? Bukankah tadi aku sudah menguncinya? Dengan agak sempoyongan, aku masuk kamar. Dan alangkah kagetnya aku, saat mataku menangkap wajah pucat ibu yang bersimbah air mata sedang duduk di ranjangku, memandang nanar ke sekeliling kamarku yang berantakan.
    “Ngapain Ibu di sini?!” seruku kesal. “Gimana bisa ibu masuk  kamar Dimas?!” bentakku. Ibu berdiri, mendekatiku. Lalu dipandanginya aku yang sedang memelototinya. Diamatinya wajahku yang tirus, badanku yang makin ringkih dan kurus. Ibu tersedu.
    “Apa yang kamu lakukan selama ini, Dimas?! Kenapa kamu menjadi seperti ini?! Apa yang kamu sembunyikan dari Ibu, Nak?!” tanyanya geram bercampur isak tangis. Aku membisu. Tertunduk. Lalu sedetik kemudian, aku kembali memelototi ibu.
    “Itu bukan urusan Ibu! Dimas udah gede, Bu! Dimas bisa atur hidup Dimas sendiri! Ibu nggak usah ikut campur!” bentakku. Ibu terbelalak. Dia menatapku lekat-lekat, seolah meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat sekarang benar-benar aku.
    “Masya Allah, Dimas...kenapa kamu berbuat seperti ini...kenapa kamu tega berbicara begitu pada Ibu.....dan....ini apa...Nak?” tanya ibu tersendat-sendat sambil menunjukkan plastik berisi obat terlarang itu padaku. Aku merebutnya.
    “Ibu dapat dari mana obat ini?! Udahlah Bu! Ibu nggak usah ikut campur urusan Dimas! Biar Dimas atur hidup Dimas sendiri!” seruku.
    “Ya Allah, Dimas...istighfar, Nak, sadar! Tinggalkan barang-barang haram itu, Nak...” ucap ibu sambil tetap terisak. Aku makin kesal.*

Bersambung...



*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi. - See more at: http://bilik-kata.blogspot.com/2014/08/maafkan-aku-ibu-part-1.html#sthash.fSAOCO0P.dpuf

*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi. - See more at: http://bilik-kata.blogspot.com/2014/08/maafkan-aku-ibu-part-1.html#sthash.fSAOCO0P.dpuf
*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi

Ruang sunyi ditengah keramaian



Sebagian orang membutuhkan kesunyian untuk beberapa hal : Menyendiri, merenung, hingga mencari inspirasi. Kadang, tak semua kerasan berada ditengah keramaian. Ada yang merasa risih dan terhunus. Untuk bisa rileks, kadang lingkungan harus sesuai dengan “ketenangan” versi dirinya. Sejak mulai belajar fiksi, dan serius menulis novel, saya baru menyadari jika ruang keramaian, yang kadang tak nyaman, berisik, dan bising itu ternyata adalah sumber inspirasi yang unik.

Bagaimana tidak, ketika kuliah ke kota, hampir saya susah menemukan ruang kesunyian. Kecuali jika sudah masuk waktu malam, diatas jam 12. Ketika di kampus, suasana ramai, ketika di jalanan, ramai plus macet, ketika di kos, suasana berisik mirip perkampungan mahasiswa. Lantas, untuk bisa fokus menulis sesuatu, akankan kita pergi menyepi ke atas gunung atau ke tepian pantai?

Ruang keramaian, membuat kita “survive” dalam menulis. Terutama, bagi orang-orang seperti saya yang butuh menepi untuk menghasilkan satu karya tulis yang reflektif. Apalagi, ketika niat menulis, mulai dari menulis tugas majalah, novel, opini serius, hingga status di facebook. Saya semaksimal mungkin untuk merangkai kata-kata yang baik. Dan itu butuh menepi.

Di rumah, saya diuntungkan dengan lingkungan yang tenang. Jam 8 malam, aktivitas warga sudah lengang. Rata-rata sudah berada di dalam rumah masing-masing. Saya duduk diteras, sebelah barat rumah ada sungai kecil untuk pengairan sawah. Sungai itu menghasilkan suara gemericik yang khas. Suasana yang sejuk dan representatif itu, membuat saya kerasan berlama-lama untuk menulis.

Maka, jika terus ketergantungan dengan lingkungan. Mana mungkin saya bisa melanjutkan hobi menulis? Akhirnya, dengan sekuat tenaga, saya mampu menciptakan “ruang” sendiri. Ruang sunyi ditengah keramaian. Jujur, saya tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya. Karena itu mengalir saja. Misalkan, ketika melihat anak-anak kecil mengemis, jiwa saya seperti terdorong ke ruang sunyi yang membuat saya “mampu” menuliskannya. Padahal, sebelumnya fenomena seperti itu berlangsung biasa saja. Tak sempat berfikir untuk menuliskan, karena sudah riwuh dengan kemacetan, asap kenalpot, suara klakson yang bising dan sebagainya.

Keramaian, kadang harus kita nikmati sebagai sebuah sumber inspirasi. Bukan suatu masalah atau hal yang menjenuhkan. Kita harus berupaya menikmati “keramaian” seperti orang-orang yang sangat takut kesepian. Lingkungan, se ramai apapun, se kumuh apapun, hanyalah sebuah dimensi riil. Sementara ide, inspirasi, dan kekuatan imajinasi kita bersemayam dalam dimensi maya di dalam jiwa. Bukan lingkungan yang harus “menciptakan” kita tapi kitalah yang “menciptakan” lingkungan. Minimal, menciptakan ruang sendiri. Ruang sunyi ditengah keramaian.

Karena sunyi atau ramai kadang bukan soal hal-hal indrawiyah seperti suara bising yang kita dengar, banyaknya-sedikitnya manusia yang kita lihat, sesak pengapnya lingkungan yang kita rasakan. Tetapi sunyi dan ramai itu soal bagaimana kita merasakan dan memandang sesuatu. Banyak yang merasa kesepian, meski setiap hari ia berkunjung di pusat-pusat keramaian. Atau banyak yang hidupnya riuh dan ramai, sekalipun ia hanya berbalas sapa di jejaring sosial. Sementara di sekitarnya tak ada siapa-siapa.

Kita harus memulai menciptakan ruang itu.

20 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz

Tuesday, 19 August 2014

Hanya kata, Hanya kita



Saya pernah berbincang dengan seorang penyair. Hanya saja, di lingkungannya sendiri, ia lebih dikenal sebagai pedagang yang kemudian menjadi pengusaha. Yang mengenalnya sebagai penyair hanya komunitas sastra tempatnya berada. Kenapa? Karena tidak semua orang tahu kalau sesungguhnya dia suka menulis puisi, membuat sajak dan kata-kata. Selain itu, ia juga tak mungkin menyebut dirinya sebagai “penyair”. Panggilan itu harus disematkan oleh orang lain yang sudah membaca karya sastranya.

Sebagaimana penyair lainnya, filosofi hidupnya memang dalam. Ia menceritakan kisah asmaranya, ketika ia hendak melamar sang pacar. Ketika itu, calon mertuanya bertanya. Dengan apa kamu menafkahi anakku? Ia hanya menjawab : dengan kata-kata. Jawaban itu, hampir saja membuat ayah sang pacar murka dan tak berniat merestui hubungan mereka.

Hal itu pula yang membuat pacarnya kecewa. Pacar dan mertuanya mungkin belum tahu kalau ia sudah mulai berdagang. Ia juga mengelola toko kelontong milik keluarga yang sudah hampir dua tahun ia kelola sendiri. Jangankan untuk membeli beras, membeli motor pun bisa. Lantas, kenapa ia harus bilang akan hendak menafkahi dengan kata-kata? orang tua mana yang tega anak perempuannya hidup menderita? Sekalipun dengan lelaki yang ia cintai.

Penyair itu bercerita, bahwa aktivitas berdagangnya selama ini hanya untuk membiayai hobinya yang suka membuat syair. Setiap bulan sekali ia langganan majalah sastra, setiap minggu ia hunting buku sastra keluaran terbaru di toko buku. Jika ada agenda seminar, workshop, konser, teater, dan sebagainya, ia dengan rela mengikuti meski berbayar mahal. Jadi, sebelum ia menikah, kerja kerasnya mencari uang itu hanya untuk memuluskan hobi dan kegemarannya.

Penyair itu juga tak ingin menunjukkan kemapanan hidup di depan pacar dan calon mertuanya. Apakah dengan ini calon mertuanya itu tak merestui dan apakah gadis itu akan meninggalkannya, ia tak peduli. Karena baginya, cinta sejati bukan tercipta dari kemapanan, tapi dari perjuangan. Ia tak ingin terlihat mapan di depan sang perempuan dan calon mertuanya. Meskipun dalam sebulan, ia bisa mendapatkan penghasilan bersih lebih dari 2 juta. Tahun itu, uang 2 juta masih punya taji, itu sekitar tahun 1987.

Ternyata, sang pacar tak menjauhinya, dan tetap gigih meyakinkan ayahnya bahwa ia adalah calon suami yang cocok. Sampai akhirnya sang Ayah luluh dan hubungan mereka berdua direstui. Pacar yang kini jadi istrinya itu, tertarik dengan penyair itu karena membaca puisi-puisi yang telah ia buat.

Istrinya itu tertarik hanya dengan kata-kata yang akhirnya menyatukan mereka berdua. Penyair itu juga menjelaskan, andaikan saya tak hobi membuat syair, hobi membeli majalah dan buku, hobi nonton teater, ikut pekan budaya dan lain-lain, mungkin ia tak terdorong untuk mengumpulkan uang dengan berwirausaha. Semua itu ia lakukan untuk memenuhi hobi. Maka, ketika ada pertanyaan. Mau kamu nafkahi anakku dengan apa? Jawabnya dengan “kata-kata” itu sebenarnya bukan ngawur. Tapi memang “kata-kata” itulah yang menguatkan hidupnya.

Kini, ia tekun dengan bisnisnya dan tekun dengan hobinya. Jika puisi atau sajaknya dimuat di media, ia tak lagi mengambil honornya, melainkan memberikan ke lembaga sosial atau lembaga infaq. Karena ia berujar, bahwa sumber dari tulisannya itu adalah kehidupan masyarakat dan harus dikembalikan ke masyarakat. Ia pun juga mulai membuat buku kumpulan puisi dan ia cetak menjadi buku sendiri. Lalu ia bagikan ke teman-teman atau sanak kerabatnya.

Hanya kata, dan hanya kita.. itulah kalimat yang diucapkannya untuk meminang sang gadis. Oh, indah sekali.

A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat kata-kata

Sunday, 17 August 2014

Maafkan Aku, Ibu... (Part 1)



Oleh: Adinda Rahma Dara Kinasih*


 Cahaya lilin yang temaram menerangi gulitanya malam ini. Belakangan ini PLN makin gemar saja memadamkan listrik secara bergilir. Kutatap foto yang berada di tanganku. Kuamati wajah ayu yang tergambar di sana. Wajah itu masih sangat jelas dalam pandanganku, meski hanya disinari cahaya lilin. Aku tersenyum sendiri, namun kemudian kurasakan mataku membasah.

  “Ibu....maafin Dimas....” ucapku lirih dalam airmata yang tak terbendung. Dalam gelap, kini memoriku melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu.

 *

            Saat  itu usiaku limabelas tahun. Masih duduk di bangku kelas satu SMA. Sebenarnya, sejak dulu aku bukan tipe anak yang nakal. Tapi, sejak masuk SMA dan mengenal Toddy dan gengnya, kelakuanku berubah seratus delapanpuluh derajat.

            Aku ingat, kala itu aku sedang menunggu bis, lalu tiba-tiba Toddy menghampiriku. Ketika itu aku merasa ngeri sendiri melihat Toddy yang berjalan ke arahku dengan sempoyongan.

           “Lo mau?! Ini...enak banget! Hahahaa!” dia berdiri di hadapanku sambil mengacung-acungkan botol minuman keras tepat di mukaku. Aku yang ketakutan segera lari menjauhi Toddy, namun tiba-tiba keempat temannya menghadangku. Salah satu dari mereka, yang kutahu bernama Doni mencengkeram kerah bajuku.

         “Hei, anak sok alim! Lo mau nggak gabung sama kita-kita?! Gue jamin, semua masalah lo akan hilang!” serunya. Aku berusaha berontak dari cengkeraman Doni, namun gagal.

        “Mau ke mana lo, ha?! Lo nggak bisa lolos dari gue!”  seketika Toddy sudah ada di hadapanku. Aku masih diam. Tiba-tiba, Pak Tardi, penjaga sekolah datang melerai kami. Huuft, Alhamdulillah.... Aku pun terbebas dari Toddy dan gengnya.

      Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Waktu yang terus bergulir memaksaku untuk berurusan dengan mereka lagi. Hal ini terjadi saat aku kelas dua. Saat itu, kondisi jiwaku sedang labil. Keluargaku berantakan. Ayah yang begitu kucintai tega meninggalkan ibu, aku, dan Mbak Ayu, kakakku demi perempuan lain. Perlakuan itu membuatku mendendam pada lelaki yang dahulu sangat kubanggakan itu. Penderitaan kami belum berakhir sampai di situ. Ibuku didiagnosa dokter menderita kanker otak stadium tiga. Akhirnya Mbak Ayu yang harus membanting tulang menafkahi ibu dan aku dengan mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa media dan menjadi penerjemah tulisan-tulisan di salah satu majalah asing. Meski tak seberapa, kami tetap bersyukur masih bisa survive walaupun ayah telah meninggalkan kami.

    Namun kesalahan malah terjadi padaku. Diriku. Anak lelaki satu-satunya yang sangat dibanggakan kedua orangtua dan kakakku. Aku bukannya membantu ibu dan Mbak Ayu dengan mempersembahkan prestasi-prestasi gemilang, tapi aku malah menjelma menjadi Dimas yang lain. Pribadi yang sangat berbeda. Bahkan diriku sendiri pun tak bisa mengenalinya.

  Aku mulai gemar melalaikan tugas sekolah, tidur di kelas, banyak alpa, dan berteman dengan orang-orang yang “salah”. Salah satunya dengan Toddy dan gengnya yang dulu sempat kumusuhi itu. Begini kata Toddy saat aku menawarkan diri menjadi bagian dari gengnya yang diberi nama Evils Gang itu.

   “Wohoho...ternyata sobat alim kita berubah pikiran! Kalau dulu kita yang ngejar-ngejar dia buat dijadiin anggota, sekarang malah dia yang nawarin dirinya! Hahaha! Lo kenapa, Dim? Salah makan obat apa lo, sehingga lo bisa ngorbanin ke”alim”an lo itu dan masuk geng gue?! Hahaha!” dia meledekku sambil tertawa-tawa, diikuti para kaki tangannya yang juga menertawaiku. Aku hanya bisa menceritakan masalah yang membelit keluargaku sambil tertunduk. Tawa Toddy meledak lagi saat aku usai bercerita.
*
Bersambung...

*Penulis, yang masih selalu belajar menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

 

Stres ternyata memiliki manfaat, apa saja?


Bilik-Kata – Banyak orang menghindari stress, meskipun pada akhirnya semua orang pasti merasa stress. Namun ternyata, tidak semua stress itu buruk bagi kesehatan. Selama ini, stress memang dikaitkan dengan kesehatan mental dan fisik. Banyak orang menjadi gila karena stress, atau menjadi kurus karena stress. Padahal, stress juga bisa membuat seseorang menjadi semakin sigap dan kuat. Bagaimana bisa?

Kompas Health menjelaskan, Ketika kita merasa stres, tubuh akan mengirimkan sinyal mengenai bagaimana tekanan yang kita alami berpengaruh secara fisik dan mental. Seperti halnya manusia purba yang berhadapan dengan singa, stres juga akan memicu respon "lawan atau tinggalkan" yang akan berpengaruh pada sistem saraf dan hormon. Manusia purba yang stres terbukti punya daya tahan hidup lebih tinggi.

Ketika respon "lawan atau tinggalkan" itu muncul, kita akan mengalami detak jantung meningkat, tangan menjadi berkeringat, mata lebih lebar, dan kita menjadi lebih sigap. Dengan perubahan tersebut, kita pun seolah merasa bisa berlari lebih cepat atau menghindar dari sesuatu. Stres memang membuat kita lebih gesit, lebih kuat, dan berpikir cepat.

Salah satu manfaat stres yang mungkin kita rasakan adalah peningkatan daya ingat. Hormon yang dikeluarkan saat stres memang membuat kita lebih fokus dan mudah mengingat. Stres juga menyehatkan sistem kekebalan tubuh sehingga kita lebih kuat melawan infeksi. (Psi)

Tuhan, Ajari aku untuk menerima

Andai kita bisa memilih. Sebuah kalimat retoris yang sangat imajinatif. Meski pada kenyataannya, tak semua hal bisa kita pilih. Seperti kelahiran, dimana kita dilahirkan, dari rahim siapa, dari keluarga seperti apa, dan dengan wujud/rupa seperti apa. Di kemudian waktu, tak sedikit dari kita yang membuat definisi-defisini. Saya miskin, saya jelek, saya rendah, saya ganteng, saya darah biru dan seterusnya. Dan kenyataannya, kita memang senang membuat sekat-sekat seperti itu.

Hal itu juga berlanjut dalam sosio-kultural kita. Dengan membuat sekat-sekat berdasarkan kelompok-kelompok ideologis, tingkat pendidikan, pangkat struktural dan lain sebagainya. Mereka yang keterpilihannya sebagai “orang bawah” merasa harus mengukur diri dengan “orang atas”. Dan “orang atas” merasa harus lebih disanjung dari “orang bawah”. Meski pada akhirnya, semua akan berpulang dalam kesadaran spiritual masing-masing. Dalam istilah jawa, nrimo ing pandum.

Padahal, dua definisi yang berlawanan itu kita buat karena ada pembanding. Misal ada atas berarti ada bawah. Ada jelek ada baik, ada kaya ada miskin, ada gaul ada cupu, ada hitam ada putih, dan seterusnya. Tidak ada orang baik, jika semuanya baik. Tidak ada pula orang kaya, jika semuanya kaya. Orang disebut “orang baik” karena di sisi yang lain ada orang yang dianggap “jelek”. Orang yang disebut kaya, karena disatu sisi ada orang miskin. Orang disebuat gaul, karena ada yang cupu. Dua istilah yang muncul karena ada pembanding.

Selain itu, kadang kita mengukur diri kita dengan orang lain. Utamanya, yang lebih tinggi. Misalkan, kita mengukur ketampanan atau kecantikan dengan para artis yang setiap hari berdandan itu. Kita mengukur “ketercukupan” hidup dengan mereka yang memiliki segalanya. Kita mengukur kehormatan berdasar pangkat struktural. Sesuatu yang kadang membuat kita lupa bahwa “aku” adalah “aku”, bukan “dia” atau “mereka”. Dan lupa bahwa sebenarnya kita sudah cukup untuk sekedar hidup dan berbagi. Perihal amanah berupa kekayaan dan jabatan, kita hanya bisa berikhtiar dan Tuhan lah yang akan memberikan jawabannya.

Di banyak kondisi, tak semua orang bisa dengan mudah menerima kehidupan. Ada sebagian yang mengutuki. Mengutuki keadaan dimana ia dilahirkan, dengan siapa, dan seperti apa. Akhirnya di beberapa kondisi, sikap tidak menerima itu berujung pada perilaku immoral : Pencurian, prostitusi, narkoba dan lain sebagainya. Seseorang yang tidak bisa menerima bahwa dia bukan “idaman pujaannya” bisa berujung pada bunuh diri dan pelarian-pelarian destruktif seperti narkotika hingga free seks.

Kemampuan menerika “aku” sebagai “aku” adalah hal sederhana yang kadang sulit dilakukan. Kadang kita selalu tak puas oleh apa yang kita miliki, terselip keluh dan gerutu terhadap keadaan yang kita sebuat sebagai sebuah takdir. Kemampuan menerima adalah kemampuan yang besar bagi mereka yang berjiwa besar.

Tuhan, ajari kami untuk menerima.

17 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat kata-kata

Inilah sebab-sebab energi tubuh kita negatif


Bilik-Kata – Ada banyak hal yang memperbesar energi negatif dalam diri kita. Jika dibiarkan, itu akan berdampak pada banyak hal dalam hidup kita. Termasuk dampak psikologis dan kejiwaan. Apa saja dampak negatif yang mengancam kita sewaktu-watu? Berikut kami tulisan penjelasannya dari buku berjudul Psychic Protection for Beginners karya Richard Webster.

Tubuh segar dan penuh energi tidak hanya didapat dari rajin olah raga dan mengonsumsi makanan bergizi saja. Tubuh kita yang diselubungi medan energi sangat sensitif terhadap getaran di sekitar kita. Mungkin Anda pernah mengalami ini. misal, berada di dekat seseorang yang terus menerus mengeluh tentang banyak hal. Dalam waktu singkat Anda akan merasa lelah dan ikut merasakan aura negatif darinya.

Tubuh kita dikelilingi oleh medan energi tak terlihat yang disebut aura. Aura sangat sensitif terhadap getaran dunia di sekeliling kita. Menghabiskan waktu di alam terbuka atau mendengarkan musik tertentu bisa mengisi medan energi kita. Sementara kata-kata atau pikiran negatif, emosi orang lain, alkohol, penyakit, dan trauma punya dampak besar untuk menghabiskan energi.

Itulah mengapa kita membutuhkan pelindung energi. Pada dasarnya melindungi energi adalah meletakkan sesuatu di sekeliling kita agar tidak terkena stres, kesedihan dan hal-hal negatif. Salah satu cara paling sederhana adalah dekat dengan orang-orang yang selalu berfikir positif

Pelindung energi sangat dibutuhkan semua orang untuk meraih ketenangan dan kebahagiaan. Namun mereka yang hidup atau bekerja dengan orang-orang yang suka mengeluh, pemarah dan perilaku negatif lainnya, akan dengan mudah terkena energi negatif. Mereka yang memiliki pekerjaan sebagai penyembuh, atau mereka yang lahir di bawah tanda air (Cancer, Scorpio, Pisces) sangat membutuhkan pelindung energi.

Untuk itu, ayo lindungi diri kita dari energi negatif dengan memperbesar energi positif. (Psi)

Saturday, 16 August 2014

Mengenal lebih dekat sosok Amartya Sen


Bilik-Kata – Amartya Sen adalah salah satu ekonom terkemuka di dunia yang fikiran-fikirannya menjadi rujukan banyak pemimpin di dunia. Salah satunya Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono. Gagasan-gagasannya seputar kesejahteraan ekonomi membuatnya menjadi salah satu orang yang disegani. Untuk itu, mari kita mengenal lebih dekat sosok yang satu ini.

Amartya Sen adalah seorang penerima nobel dalam bidang ekonomi. Ia banyak menggagas banyak teori, diantaranya tentang kelaparan, mekanisme dasar dari kemiskinan dan liberalisasi politik. Ia juga dianugrahi Lifetime achievment awards oleh Kamar dagang India pada tahun 2003. Selain itu, banyak sekali penghargaan lain yang ia terima.

Ia memiliki nama lengkap Amartya Kumar Sen. Pria berdarah India yang lahir 80 tahun silam di Santiniketan, Bengal barat ini, sekarang menjadi salah satu dari 18 Profesor elite di Harvard University. Sen memulai karir pendidikannya di Sekolah Ekonomi Delhi dan meraih Ph.D dari Kolese Trinity Cambridge. Ia juga pernah mengajar di beberapa Universitas seperti Universitas Calcutta, Universitas Jadavpur, Oxford University hingga Harvard University.

Nama Amartya Sen, adalah pemberian salah seorang penyair terkemuka India bernama Rabindranath Tagore. Amartya berarti kekal. Rabindranath tagore adalah salah seorang penerima nobel dalam bidang sastra yang juga pendiri kota Universitas di Santiniketan.

Karya-karya ekonom India itu kini mendunia dan menjadi rujukan para pemimpin negara-negara ketiga, seperti Indonesia. Teorinya tentang kemiskinan, kelaparan hingga liberalisme politik dirasa mampu membantu proses pembangunan sebuah negara. Nah, itu dia sosok Amartya Sen yang sangat terkenal itu. (Tok)

Kemerdekaan sempurna menurut Soekarno



Bilik-Kata – Proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno, atau yang akrab kita sapa Bung Karno tersebut, pernah membuat sebuah gagasan yang ia sebut dengan kemerdekaan sempurna. Dalam sebuah kata pengantar dalam buku sejarah karya M. Yamin, Bung Karno menulis : Bangsa Indonesia ingin berjuang untuk kemenangan akhir berupa Indonesia Merdeka, yang sebenar-benarnya berisi kemerdekaan yang sempurna.

Kemerdekaan yang sempurna itu kemudian diringkas dalam tiga hal yang selama ini kita kenal dengan Tri Sakti. Apa saja itu? pertama, adalag berdaulat dalam politik. Hal ini sudah kita dapatkan. Sekarang, Indonesia termasuk salah satu negara yang sukses dalam penyelenggaraan pemilu yang aman dan demokratis. Seluruh rakyat Indonesia sudah memiliki hak untuk menentukan pemimpin mereka.

Kedua, adalah berdikari di bidang ekonomi. Sektor inilah yang agaknya tersendat-sendat. Apalagi, di tengah pusaran liberalisasi ekonomi. Dimana produk lokal masih susah bersaing dengan produk asing. Selain itu, hasil tambang yang harusnya bisa digunakan untuk kesejahteraa ekonomi, masih dikuasahi oleh perusahaan asing. Secara ekonomi, kita masih bisa disebut berdikari. Apalagi ketergantungan kita kepada pasar internasional.

Ketiga, Berkepribadian dalam kebudayaan. Ini soal karakter bangsa, soal budaya tanah air. Yang agaknya akhir-akhir ini juga mulai kita tinggalkan dan tergantikan oleh westernisasi, k-pop dan sebagainya. Selain itu, munculnya paham radikalisme menunjukkan mulai terancamnya ideologi pancasila yang salah satu karakter kepribadiannya, menciptakan kerukunan antar umat beragama dan perdamaian bangsa-bangsa.

Itulah tiga gagasan Bung Karno tentang kemerdekaan sempurna itu. Dari tiga hal tersebut, kita bisa menilai sendiri apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka, sebagaimana kemderdekaan sempurna yang di katakan Bung Karno 69 tahun lalu itu. (Nus).

Anda pecinta kopi? Tak ada salahnya membaca ini


Bilik-Kata – Banyak yang mengatakan jika kopi adalah minuman yang berbahaya bagi jantung. Hal tersebut coba di klarifikasi oleh Ahli penyakit jantung dari Eka Hospital, BSD, Tangerang, dr. Daniel Tanubudi, SpJP. Menurut Beliau, Biji kopi sendiri sejatinya menyehatkan karena mengandung antioksidan yang bermanfaat untuk kesehatan. Namun kopi akan berbahaya jika terlalu banyak campuran.

Di kutip dari Kompas.com, dokter ahli kelainan irama jantung ini mengatakan bahwa Penikmat kopi sejati itu seharusnya menyeruput secangkir kopi tanpa gula dan susu. Lebih bagus lagi jika biji kopi yang dinikmati adalah biji kopi arabika. Selain itu, kopi biasanya dikonsumsi sambil menyantap gorengan atau rokok. Justru itulah yang lebih berbahaya

Selama ini, masyarakat sering mengkonsumsi kopi dicampur dengan gula dan krimer yang dikenal dengan kopi three in one. Padahal, semakin banyak campuran dalam kopi, justru semakin membuatnya tak sehat. Ia menghimbau untuk menikmati kopi murni tanpa apapun jika ingin memperoleh kesehatan.

Ia juga menjelaskan, kopi akan berbahaya jika dikonsumsi terlalu berlebihan. Kandungan kafein dalam kopi, jika terlalu banyak dikonsumsi, akan menyebabkan jantung berdebar-debar. Pasien penyakit jantung perlu berkonsultasi dengan dokter sebelum minum kopi.

"Kopi menaikkan heart rate. Oleh karena itu, bagi pasien penyakit jantung dengan heart rate yang harus dijaga agar tetap rendah, mereka sebaiknya menghindari kopi," pungkasnya. (Kes)

Jangan larang anak bermain



Bilik-Kata – Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Namun tak sedikit orang tua yang memberikan batasan yang ketat untuk anaknya bermain. Padahal, bermain tak selalu memiliki dampak buruk, justru sebaliknya, bermain bisa melatih kecerdasan anak. Terutama kecerdasan psikomotorik. Bagaimana penjelasannya?

Berdasarkan hasil survei Fisher Price, terungkap orangtua memiliki motivasi untuk mengoptimalkan perkembangan buah hatinya dengan membeli mainan. Bidang yang diinginkan untuk dikembangkan adalah 79 persen kognitif, 79 persen fisik, dan 72 persen emosional.

Menurut hasil survei online yang diajukan terhadap 690 responden di Indonesia, sebanyak 46 persen anak sudah memenuhi kriteria tersebut, 22 persen sebanyak 6-8 jam perhari, dan 20 persen bermain sebanyak 1-3 jam. Idealnya, jatah bermain anak usia 0-5 tahun adalah 5-6 jam per hari.

Selain itu, Menurut psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, supaya permainan anak juga memberi manfaat stimulasi, maka orang tua harus mendampingi anak ketika bermain kalau perlu menjelaskan manfaat dari permain tersebut. Karena Jika anak bermain begitu saja tanpa adanya pendampingan, tidak akan tercipta stimulasi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. (Par)

Di sebuah hari yang serba terbatas

Saya mendapatkan kabar bahwa ada kerabat yang meninggal. Meski tergolong kerabat jauh, namun kepergian orang yang saya sebut Pak Poh (Paman) itu begitu mengusik pikiran saya. Sebelum meninggal, Pak Poh sempat dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Kota Blitar selama beberapa hari. Ia terserang stroke. Pekerjaan yang keras, membuat tubuh tuanya tersungkur.

Ketika kami menjenguknya dulu, kondisinya sudah sangat parah. Tubuhnya susah digerakan, sudah nyaris lumpuh. Alat bantu pernafasan juga sudah terpasang. Hanya saja, Pak Poh tahu kalau kami tengah menjenguk. Meski tak mampu berjabat tangan, tak mampu mengucap salam, tapi sebuah isyarat dari airmatanya memberikan bahasa lain ; kerinduan dan kesedihan.

Setiap kali ada yang menjenguk Pak Poh, ia hanya bisa meneteskan airmata. Selain itu tak bisa. Tubuhnya sudah tak bisa lagi digerakkan. Pak Poh bisa hidup pun karena bantuan alat pernafasan dan infus. Makan pun sudah tak bisa. Semua serba terbatas. Keluarga sudah pasrah dan sepertinya, semua tinggal menunggu waktu.

Pak Poh, bekerja sebagai petani desa di salah satu pedalaman kabupaten Blitar. Nama dusunnya grontol. Jika hendak kesana, kita harus melalui jalan yang berkelok-kelok, naik turun dan sekitarnya tebing yang curam. Jika tak hati-hati, kita bisa terperosok ke dalamnya. Hal yang dulu nyaris dialami bapak saya pada malam hari, ketika ada oli yang tercecer dan membuat motor tergelincir. Untung saja, Allah masih memberikan keselamatan.

Pak Poh adalah anak dari saudara nenek. Itulah kenapa, saya menulisnya kerabat jauh. Terakhir kali, saya bertemu Pak Poh ketika lebaran, saya lupa lebaran kapan. Kalau tak salah, ketika saya baru masuk semester pertama perkuliahan. Saya tidak pernah membayangkan, jika pertemuan selanjutnya setelah itu, adalah pertemuan tanpa kata dan sapa.

Pak Poh, yang meski bertubuh kekar, namun akhirnya tumbang juga. Tubuh kekarnya bukan karena rajin fitnes, tapi karena beban pekerjaan yang berat disebuah desa yang tersuruk. Pak Poh telah memasuki masa dimana segala hal serba terbatas. Yang awalnya bisa berkata-kata dan bercerita, kini hanya diam. Yang awalnya bisa berjabat tangan, memeluk, dan merangkul. Kini hanya diam.

Segalanya serba terbatas. Satu hal yang hanya bisa ia lakukan : menitikkan air mata. Dan airmata itulah yang kemudian mengajarkan saya banyak hal. Siapapun itu, termasuk kita, akan berada pada masa dimana segala hal serba terbatas. Tubuh yang lambat laun beranjak tua nan ringkih, fikiran yang dimasa muda tajam dan kritis, pada saatnya akan tumpul dan pikun.

Saat itu pulalah, Tuhan meminta kembali diri kita. Satu hal yang saya khawatirkan, akankah di suatu hari yang serba terbatas itu, kita sudah mengajarkan banyak hal untuk kehidupan ini? Pak Poh telah mengajarkan saya sebuah perjuangan yang keras. Dan itulah yang akan selalu saya kenang.

Selamat jalan Pak Poh.

Blitar, 16 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz*
(*) Penikmat Kata-kata

Perokok Rentan stres dan bunuh diri


Bilik-Kata – ada beberapa tipe atau kebiasaan seseorang yang bisa mendorong pada perilaku bunuh diri. Sebagaimana yang dirilis dalam situs medicaldaily.com beberapa hari lalu. Kebiasaan merokok ternyata menduduki peringkat pertama. Bagaimana kebiasaan merokok bisa meningkatkan kemungkinan bunuh diri?

Peneliti dari Washington University School of Medicine menemukan, peningkatan pajak rokok berhubungan dengan penurunan kasus bunuh diri di suatu daerah. Mereka menyimpulkan, merokok berhubungan dengan tindakan nekat tersebut. Diperkirakan dampak merokok terhadap bunuh diri berhubungan dengan sifat adiksi yang diberikan rokok.

Selain itu, rokok juga memberikan rasa nyaman pada otak. Seorang perokok aktif, akan selalu membutuhkan kafein dalam rokok agar tubuhnya stabil. Sifat kecanduan inilah yang membuat seseorang mengalami ketergantungan yang berlebih. Sehingga ketika jauh dari rokok, ia akan dengan mudah depresi. Dengan peningkatan pajak rokok, maka sebagian orang berusaha untuk memulai hidup sehat.

Selain perokok, tingkat bunuh diri yang tinggi juga dialami oleh remaja yang gagar otak, pemusik, manusia yang terserang asperger dan remaja yang diadopsi. Nah, untuk anda para perokok, tak ada salahnya mulai merenungkan hal ini dan memulai mengurangi kebiasaan merokok yang berlebih. (Psi)

Friday, 15 August 2014

Dahlan : Kaya bermanfaat, Miskin bermartabat




Bilik-Kata – Hidup dalam kemiskinan tak selalu harus ditangisi. Hal itulah yang selalu diajarkan oleh mantan orang miskin yang kini menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam beberapa dialog yang pernah mengangkat perjalan hidupnya, Dahlan Iskan menjelaskan bahwa meskipun menjadi miskin, jadilah miskin yang bermartabat. Kalau menjadi kaya, jadilah orang kaya yang bermanfaat.

Lelaki kelahiran Magetan itu, sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Bahkan untuk membeli sepatu pun susah, harus nunggu sampai sekolah Aliyah. Namun kini ia menjadi pangusaha media yang sukses, bahkan ditunjuk menjadi salah satu Menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurutnya, kehidupan harus dinikmati. Entah kaya atau miskin. Ia berbagi cerita hidupnya dahulu, meski hidup miskin namun tak merasa menderita. Semua dinikmati apa adanya. Menjadi miskin harus tetap bermartabat. Pun kalau menjadi kaya, jadilah orang kaya yang bermanfaat.

Ia juga membagi resep, bahwa yang membuat orang menderita bukan karena ia kaya atau miskin. Namun karena realistis dan tidak realistis. Orang yang tidak realistis senantiasa menginginkan hal-hal yang tak dapat ia jangkau. Akhirnya ketika tak mendapatkannya, ia akan sangat sedih dan kecewa. Ia mencontohkan dirinya yang akhirnya tidak bisa maju menjadi capres. Ia tahu bahwa menjadi presiden adalah campur tangan Tuhan. Setelah ia tak bisa maju menjadi capres, ia harus realistis dan memberikan dukungan kepada yang dirasa mampu mewakili harapannya. (tok)

Kecantikan yang tak terukur

Oleh: A Fahrizal Aziz*

Tak sulit untuk mendefinisikan seseorang yang cantik atau tidak. Sebuah definisi yang bisa diukur dengan mudah ; melalui penglihatan mata. Kecantikan, selalu diasosiakan oleh indra penglihatan. Sebuah penilaian yang didasarkan oleh keserasian lekuk wajah, tubuh plus perawatan. Meski kemudian, ada sebuah pandangan kritis bahwa kecantikan tak selalu soal fisik semata.

Selama ini, segala hal memang harus terukur dengan jelas. Misalkan soal kesuksesan. Orang yang sukses selalu diasosiakan dengan mereka yang berkecukupan soal financial, dapat jabatan strategis atau bisnis yang besar. Pun dengan kecantikan. Kenapa demikian? Karena itu sangat mudah diukur. Misal, ketika cantik dimaknai dengan cantik hati. Atau sukses dimaknai dengan kebahagiaan. Mengukurnya akan susah. Dan kalaupun bisa, akan berbeda-beda.

Orang yang berdandan seksi, memiliki wajah tirus yang menawan, akan dengan mudah dikategorikan cantik jika ukurannya adalah mata fisik. Orang yang kaya, gaji tinggi, jabatan strategis akan bisa dikatakan sukses jika alat ukurnya berupa kecukupan. Namun akan berbeda lagi jika dinilai berdasarkan kebaikan dan kebahagiaan.

Orang yan cantik fisik, belum tentu cantik hatinya. Orang yang tak cantik fisiknya, belum tentu juga tak cantik hatinya. Pun dengan orang yang berlimpah harta, belum tentu bahagia. Sementara orang yang hidup sederhana, bisa jadi memiliki kebahagiaan. Itu dikarenakan, kecantikan hati sangat susah diukur. Sementara, setiap harinya, baik ketika di bangku sekolah, kuliah, atau dunia kerja, kita diajarkan untuk berfikir positivistik. Mengukur sesuatu dengan alat ukur yang pasti dan jelas.

Misal di sekolah, ukuran anak pintar atau bodoh didasarkan pada nilai raport. Nilai raport didapat dari kelihaian mengerjakan soal ujian. Sementara penilaian-penilaian non kognitif, tidak bisa dinilai dengan angka-angka. Sulit menilai hal-hal non kognitif. Misalkan menilai kejujuran, kebaikan, kedisiplinan, kepedulian, dll. Rata-rata akan dinilai dengan kata-kata : baik, sangat baik, memuaskan. Susah untuk diukur dengan angka-angka.

Hal tersebut tidak bisa kita salahkan serta merta. Karena memang tak mudah mengukur sesuatu yang tak punya alat ukur dengan jelas, meskipun sebenarnya bisa kita lakukan. Misalkan kecantikan, sebagai lelaki, saya berusaha sungguh-sungguh untuk melihat kecantikan perempuan dari hal-hal yang susah (atau tak pernah) diukur kebanyakan orang.

Misalkan, dari sikap, kebaikan, sifat keibuan, kepedulian, kelembutan, dan warna-warni hidupnya yang lain. Kadang, kita mengenal dua tipikal perempuan yang berbeda. Jika diukur dari kecantikan fisik, yang satu lebih cantik. Tetapi anehnya, kita lebih tertarik dan cocok dengan perempuan satunya yang tak lebih cantik (secara fisik) karena kita menemukan “kecantikan-kecantikan lain” yang tak terukur dalam dirinya.

Ukurannya, hanya bisa dirasakan dan (susah) untuk dibuktikan apalagi di presentasikan ke banyak orang. Karena “kecantikan-kecantikan” tak terukur itu hanya bisa dirasakan oleh sebagian orang saja. Kadang kita sering heran melihat dua pasangan yang menurut kita tidak begitu serasi, tapi ternyata mereka begitu langgeng. Itu bisa jadi karena diantara mereka sudah menemukan “kecantikan” dan “ketampanan” yang hanya bisa diukur oleh mereka dan tidak bisa diukur oleh kita.

Kita akhirnya paham, bahwa semua itu tak harus terukur dengan pasti. Karena suatu yang terukur, bisa berubah seiring waktu. Semisal kecantikan. Ketika tua, ukuran kecantikannya akan berkurang. Tetapi “kecantikan-kecantikan” yang tak terukur lainnya, bisa semakin bertambah bisa juga berkurang. Kecantikan terukur bisa dirias dengan alat-alat kosmetik. Namun kecantikan tak terukur terbit dari ketulusan hati.

Kecantikan “tak terukur” adalah hal yang misterius, dan menurut saya, itulah kecantikan yang berdiri diatas kecantikan fisik yang nilai dan ukurannya akan terus berkurang. Ketika kecantikan fisik hilang, ada kecantikan lain yang abadi. Dan itu adalah kecantikan yang “tak terukur”.

(*) Inisiator Bilik Kata

Ini alasan kenapa orang takut dengan kecoa


Bilik-Kata – Jika di nalar secara serius, fenomena orang takut dengan kecoa sampai mengalami phobia, memang tidak wajar. Padahal, kecoa bukan salah satu hewan buas yang bisa merenggut nyawa seseorang. Kecoa, hanya diasosiasikan sebagai hewan yang jorok dan kehadirannya, menunjukkan kalau lingkungan sekitar kurang bersih. Dalam buku berjudul Gelegar Otak karya Tauhid Nur Azhar, dibahas beberapa point kenapa seseorang bisa sangat takut dengan kecoa. Apa saja itu?

Pertama, ketakutan terhadap kecoa adalah phobia massa yang diturunkan. Bisa jadi, keluarga atau teman-teman bergaul anda, juga memiliki rasa takut berlebih terhadap kecoa. Ketika mereka melihat kecoa, ketakutan mereka kemudian menular ke anda dan itu menyebabkan anda juga takut dengan kecoa. Meskipun, secara sadar anda bisa dengan mudah mengusir atau membunuh kecoa tersebut.

Kedua, ada gen takut kecoa yang ada dalam tubuh anda. Hipotesis kedua ini memang terkesan lucu, tapi siapa tahu, anda mewarisi gen takut kecoa dari Ayah atau Ibu anda. Sehingga, anda juga takut dengan kecoa. Tanpa sadar, ketika melihat kecoa, anda berteriak histeris dan lari terbirit-birit.

Keduanya, bisa saling berkaitan. Apalagi, memori yang tersusun dan tersimpan dalam otak, melalui proses biokimiawi, biolistrik dan konformasi stuktur protein tertentu, menyerupai proses perekaman data musik ke sebuah CD. Sehingga secara tak sadar kita ikut terbawa dalam reaksi yang sama ketika melihat kecoa, sebagaiana reaksi para phobia kecoa yang pernah kita lihat. (red)

Referensi isi : buku gelegar otak karya Tauhid Nur Azhar hal. 45

Muslim itu memiliki otak yang sehat


Bilik-Kata – Ada sebuah hadits berbunyi : Seorang muslim yang baik itu tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya. Hadits itu, jika ditelisik dari ilmu neurologi dan ahli bedah otak, menunjukkan bahwa setiap muslim diharapkan memiliki otak yang sehat yang tidak membuat kekacauan yang mengganggu orang lain. Dalam hadits tersebut, Rasullulah saw berpesan kepada Umatnya untuk memiliki otak yang sehat.

Hal itu ditulis oleh Cendekiawan Muslim Jalaludin Rahmat dalam sebuah buku berjudul “Gelegar otak” karya Tauhid Nur Azhar. Kang Jalal, begitu panggilan akrab beliau. Menjelaskan bahwa seseorang yang otaknya tak sehat, akan memiliki emosi yang tak stabil dan cenderung berbuat kerusuhan. Umumnya, orang yang berbuat kerusakan memiliki masalah serius pada salah satu bagian otak bernama korteks prefrontal.

Ia mengaitkan dengan kecelakaan yang pernah menimpa Phineas Gage pada tahun 1848. Gage, seorang yang sebelumnya cerdas dan menjadi pemimpin yang baik dalam sebuah proyek konstruksi, tiba-tiba berubah menjadi pemarah setelah kecelakaan tersebut. Padahal, dalam satu sisi kemampuan berfikirnya masih baik. Hanya saja, Gage lebih sering berencana dan gagal dalam menjalankan rencana-rencana tersebut.

Setelah Gage meninggal dan kemudian dokter melakukan brain-scanning pada otaknya, diketahui terjadi kerusakan pada bagian korteks prefrontal. Akhirnya, Gage kehilangan daya kendali pada dirinya dan mudah marah serta tempramental. Bahkan dalam kasus yang sama, pengidap penyakit ini bisa sampai melakukan pembunuhan kepada orang lain yang tak punya salah apa-apa. Salah satunya adalah Peter Chiesa.

Dalam sebuah tulisan yang ditujukan sebagai pengantar buku tersebut, Kang Jalal mengingatkan bahwa melatih otak untuk berlaku baik itu sangat penting. Ia menuliskan, pesan Rasullulah ketika Haji Wada’ itu adalah suatu anjuran kepada umatnya untuk menjaga kesehatan otak, salah satunya melalui pola pikir yang positif. Seorang muslim, ketika ditugaskan untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya, diasumsikan sebagai manusia yang memiliki otak sehat. (Cen)
Referensi isi : Buku Gelegar otak karya Tauhid Nur Azhar, halaman xxi

Thursday, 14 August 2014

Kita dan Kata-kata

Oleh : A Fahrizal Aziz*

Pernah dengar pernyataan ini? “Hidup itu tak semudah bacotnya ... “ kadang saya tertawa sendiri mendengarkan pernyataan seperti itu, meski kadang serius, tapi terdengar sangat lucu sekali. Ia mencoba mengkritisi para motivator-motivator yang selalu menyitir kata-kata motivasi. Bagi yang terbuka, pasti akan sangat terbantu. Bagi yang sinis, pasti akan langsung membuat dinding-dinding penghalang.

Saya sendiri, adalah penikmat kata-kata. Saya mengoleksi beberapa kata-kata bijak dari para tokoh, siapapun tokoh itu. Baik motivator atau bukan. Secara tersirat, kata-kata bijak bisa muncul dalam frasa-frasa yang bersifat esoteris semisal puisi, pantun, syair, dll. Kata-kata itu, bermaksud mendeskripsikan dan menamai sesuatu. Dengan kata-kata itu, kadang kita bersemangat, sedih, bahagia dan mendapatkan inspirasi.

Banyak juga yang awalnya mengalami kebuntuan, namun setelah membaca sebuah kata-kata bijak, ia seolah menemukan celah harapan. Sebuah kata-kata sangat membantu untuk mendeskripsikan, menarasikan, dan menamai sesuatu. Ia juga bisa menjadi penuntun dan alat pencerahan. Kalau ada orang bilang “Hidup itu tak semudah bacotnya ...” mungkin dia tidak melihat “kata-katanya” tetapi “siapa yang mengatakan”.

Misalkan, seorang yang belum pernah berumah tangga, berbicara soal pernikahan. Orang yang tak pernah miskin, memotivasi untuk bangkit dari kemiskinan. Atau, orang yang senyatanya tak bisa menjalankan kata-kata yang diucapkannya sendiri. Pada intinya, bukan “kata-katanya” yang dipermasalahkan, tetapi “siapa yang berkata-kata”. Karena dalam pemahaman sebagian orang, seorang yang “berkata-kata” harus sudah “menjalankan kata-katanya” atau sedang dalam posisi seperti yang “dikatakannya”.

Padahal, saya dan kita semua sangat membutuhkan kata-kata. Tidak harus ikut seminar motivasi, tetapi bisa dengan membaca buku atau kata-kata bijak yang bisa kita temui dimana-mana. Di blog, sosmed, website, atau di reklame-reklame jalanan. Asalkan kita mampu memisah antara “siapa” dan “kata-kata”.

Kata-kata, membantu kita untuk mengatasi banyak hal yang tak terdefinisi, terjelaskan, dan termaknai. Kita memang sangat membutuhkan kata-kata.

(*) Inisiator Bilik Kata

Presiden ini digaji Rp350 ribu per Bulan


Bilik-Kata –Anda mungkin tidak percaya jika seorang Presiden, orang nomor satu di sebuah negara mendapatkan gaji yang sangat rendah. Bahkan, gajinya jauh di bawah gaji buruh di Indonesia. Siapakah dia? Ia adalah Fidel Castro, mantan Presiden Kuba yang bisa jadi merupakan Presiden dengan gaji terendah di dunia.

Sejak memimpin Kuba pada tahun 1959, Fidel Castro membawa negara ini menuju negara sosialis. Untuk itulah banyak negara lain yang mendeskriditkannya karena konsep kepemimpinannya jelas menentang paham imperialisme yang kala itu tengah merajai dunia. Dengan sikapnya itu, Fidel Castro banyak di musuhi negara-negara adidaya.

Majalah Forbers pernah menempatkannya sebagai salah seorang Presideng terkaya dunia yang memiliki tabungan sebesar USD 900 juta di luar negeri. Upaya itu menurut sebagian pengamat adalah pembunuhan karakter bagi sosok Castro yang terkesan sederhana. Akhirnya Castro pun menantang Majalah Forbers dengan pertanyaan “Jika anda bisa membuktikan saya punya uang 1 dollar saja di luar negeri, saya akan mundur dari jabatan saya (Presiden).” Dan ternyata tidak terbukti.

Fidel Castro menjelaskan jika gajinya dalam sebulan hanya 900 peso, mata uang peso kuba kala itu tidak diakui di dunia internasional dan tidak punya nilai di pasar international. Tapi jika di setarakan dengan dollar, gaji itu sekitar USD 36 atau Rp 350.000. gaji yang sangat kecil untuk ukuran Presiden.

Kisah lengkapnya bisa di baca di buku “Fidel Castro : My Life”.  Di dalamnya ada wawancara Ignacio Ramonet tentang kehidupan Fidel Castro selama menjadi Presiden. Meski bergaji rendah, kala itu Castro tidak merasa kekurangan atau kelaparan. Bahkan ia harus menyisakan sebagian gajinya yang 900 peso itu untuk pendanaan Partai. [PH]